Shortfall Pajak Melonjak, Pemerintah Disebut Bakal Menumpuk Utang

Jakarta -- Shortfall penerimaan perpajakan diprediksi sekitar Rp200 triliun dari target penerimaan pajak sekitar Rp1.743 triliun. Realisasi Januari-Oktober hanya RpRp1.173 triliun atau 65 persen dari target. Beruntung, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terealisasi cukup baik, mencapai 88 persen dari target. Pada APBN-2019, PNBP ditargetkan Rp378 triliun. Hanya saja, porsi PNBP terhadap penerimaan negara tidak cukup signifikan. PNBP hanya berkontribusi sekitar 17 persen terhadap pendapatan negara.

Anggota Komisi XI DPR RI, Ecky Awal Mucharam menjelaskan bahwa yang dihadapi sektor fiskal cukup berat. Potensi shortfall terus meningkat tahun ke tahun. Jika merujuk pada data pemerintah, realisasi penerimaan perpajakan Januari-Oktober 2019 hanya naik Rp13 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Periode Januari-Oktober 2018, realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp1.160 triliun sedangkan Januari-Oktober 2019 hanya Rp1.173 triliun. Artinya, penerimaan perpajakan hanya naik 1,12 persen (yoy),” tegas Ecky di Komplek Parlemen, Senayan, Rabu (12/12/2019).

Wakil Ketua Fraksi PKS ini menerangkan, “Kalau kita lihat, total shortfall penerimaan perpajakan tahun 2015-2019 mencapai Rp482 triliun. Angka itu kita asumsikan bahwa shortfall penerimaan pajak 2019 mencapai Rp200 triliun. Jika dibandingkan dengan tahun 2010-2014, shortfall penerimaan perpajakan hanya Rp232 triliun”.

Sementara itu, rata-rata shortfall penerimaan pajak pun semakin meningkat tiap tahunnya. Sepanjang 2010-2014 hanya Rp46,4 triliun per tahun; sedangkan tahun 2015-2019 rata-rata shortfall mencapai Rp96,4 triliun per tahun.

“Ini jelas, konsekuensi dari shortfall penerimaan pajak terlihat dari meroketnya utang. Bebannya cukup terekam dari peningkatan belanja cicilan bunga utang. Porsinya semakin dominan dalam struktur belanja negara. Saat belanja cicilan utang naik, maka porsi belanja lain cenderung menurun. Hal itu terlihat dari penurunan porsi belanja modal terhadap belanja negara”, jelas Ecky.

Anggota Legislatif asal Jawa Barat ini menambahkan, biaya penerbitan Surat Perbendarahaan Negara (SBN) relatif lebih tinggi dibanding negara lain. Yield SBN 5 tahun pada Oktober 2019 mencapai 6,4 persen; untuk 10 tahun; 15 tahun; dan 20 tahun masing-masing 6,98 persen; 7,45 persen; dan 7,65 persen. Yield obligasi pemeirntah Filipina saja hanya 4,739% (Desember 2019).

“Utang pemerintah per Oktober mencapai Rp4.756 triliun. Kalau penerimaan pajak tiap tahun tidak tercapai, maka kita terus menumpuk utang,” tutup Ecky.