Saksi Ahli: Majelis Tahkim PKS Sah

Suasana persidangan di Pengadilan Jakarta Selatan, Senin (24/10/2016)
Suasana persidangan di Pengadilan Jakarta Selatan, Senin (24/10/2016)

Jakarta (24/10) - Saksi ahli Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Prof I Gede Pantja Astawa dalam sidang lanjutan gugatan Fahri Hamzah, menilai mahkamah partai dalam hal ini Majelis Tahkim sah sesuai dengan UU Partai Politik.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran itu mengatakan disahkannya kepengurusan partai (termasuk) disahkannya kepengurusan parpol hasil pergantian sebagaimana dimaksud Pasal 23 UU No.2 Tahun 2011 tentang Parpol, maka secara mutatis mutandis semua produk hukum oleh pimpinan partai adalah sah.

Demikian juga tentang Majelis Tahkim sebagaimana dimaksud Pasal 32 ayat (3) cukup disampaikan oleh Pengurus Partai kepada Kemenkumham.

Karena soal Mahkamah Partai susunan kepengurusannya adalah kewenangan Partai. Dan Majelis Tahkim tidak perlu SK Kemenkumham. Karena yang mengangkat adalah pimpinan partai.

“Kemenkumham mengesahkan (partai politik) secara hukum dan seterusnya hingga tentang keabsahan tentang partai politik berbadan hukum termasuk pergantian kepengurusan. Termasuk yang disinggung tentang mahkamah partai (majelis tahkim),” kata Gede Pantja di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (24/10/2016).

Gede Pantja mengatakan, dalam UU Partai Politik pasal 32 ayat 3 menyebutkan jika mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat sebelumnya disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian.

“Jadi pasal 32 maka dikatakan ‘disampaikan’ oleh pimpinan partai, kalau pimpinan partai sudah diakui keabsahannya melalui keputusan menteri tadi. Selebihnya pembentukan mahkamah partai diserahkan kepada pimpinan partai itu,”  ucapnya.

Pasal 32 pada UU Parpol, kata Gede Pantja, dibuat untuk menyelesaikan konflik partai yang diselesaikan secara internal lewat mekanisme mahkamah partai.

“Itu dibuat untuk menangani konflik partai. Diserahkan secara internal oleh sebuah mahkamah partai. Mahkamah partai dibentuk oleh pengurus baru yang disahkan oleh menteri. Oleh sebab itu, mahkamah partai disampaikan oleh pimpinan partai kepada Kemenkumham. Ini sudah benar, tidak ada yang salah. Pasal 32 ayat 2 sudah cukup,” ujar Gede.

Gede Pantja menambahkan, soal surat PAW terhadap anggota DPR tidak harus ditandatangani langsung oleh ketua umum dan sekretaris jenderal (sekjen) partai. Apabila sekjen sedang berhalangan hadir karena meninggal dunia, sakit, atau mengundurkan diri, maka pendelegasian tugasnya dilakukan oleh wasekjen sebagaimana AD/ART.

“Misalkan sekjen meninggal atau mengundurkan diri bisa didelegasikan dan sah sesuai dengan undang-undang kepartaian. Tidak harus ketua umum dan sekjen,”  kata Gede Pantja.

“Itu persoalan internal partai. Jangan mempersoalkan sekjen atau wasekjen. Jangan samakan dengan negara. Presiden yang berhalangan tidak harus segera diganti oleh wakil presiden. Kalau mengesahkan APBN ya tidak bisa, harus oleh presiden. Negara berbeda dengan partai. Kembali ke mekanisme struktur organisasinya, internal partai tersebut,” imbuhnya.

Ia menyinggung terkait dengan Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR dan DPD (MD3) mengatur soal pergantian anggota DPR RI salah satunya jika diberhentikan dan diganti dengan calon legislatif dengan suara terbanyak dibawahnya. Termasuk pergantian unsur pimpinan DPR. Sebab, pimpinan DPR di DPR adalah menjalankan mandat partai atau menjalankan kewenangan partai. Sehingga kapanpun bisa diganti (recall). Dan semuanya berlaku sama baik untuk Pimpinan DPR hingga alat kelengkapan dewan lainnya.

“Siapa yang akan mengganti? Siapa yang harus menyampaikan pergantian itu? Karena partai yang mengusung anggota tersebut semula, kemudian dipecat dan diganti oleh kader partai. Siapa yang akan menggantikannya? Ya (orang) partai. Partai, tidak menyebut apakah itu ketua umum apa itu presiden apapun itu namanya, tidak menyebut,”  kata dia.