Rezim Impor Beras Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Petani

Ketua Bidang Ekonomi Keuangan, Industri, Teknologi dan Lingkungan Hidup (Ekuintek) DPP PKS Memed Sosiawan
Ketua Bidang Ekonomi Keuangan, Industri, Teknologi dan Lingkungan Hidup (Ekuintek) DPP PKS Memed Sosiawan

1. Pada periode akhir Januari hingga Maret 2018 para petani sedang memasuki masa panen raya beras, di beberapa lokasi sentra produksi beras, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan dan beberapa daerah lainnya diseluruh Indonesia.

2. Petani sedang menikmati puncak panen raya, dengan harapan panen ini akan memberikan harga yang lebih baik diterima petani, sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan hidup petani.

3. Bahkan nenurut data dari Kementerian Pertanian (Kementan), produksi padi selama panen raya antara bulan Januari hingga Maret 2018 akan melimpah. Diperkirakan pada Januari 2018 produksi padi diprediksi mencapai 4,50 juta ton dengan ketersedian beras sebanyak 2,80 juta ton dan konsumsi beras 2,50 juta ton. Pada bulan Februari 2018 produksi padi diprediksi meningkat menjadi 8,60 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) dengan ketersediaan beras sebanyak 5,40 juta dan konsumsi beras 2,50 juta ton. Pada bulan Maret 2018 produksi padi diprediksi kembali meningkat 11,90 juta ton GKG, dengan ketersediaan beras sebanyak 7,47 juta ton dan konsumsi 2,50 juta ton. Artinya, produksi beras akan mengalami surplus sekitar 4,97 ton.

4. Jika data dari Kementan ini tepat dan akurat, tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk meneruskan kebijakan Impor beras.

5. Tetapi kegembiraan petani yang sedang melakukan panen raya tersebut, terusik dengan lahirnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Beras, telah mempengaruhi tingkat psikologi harga gabah dan beras yang kemudian berdampak terhadap kesejahteraan ditingkat petani.

6. Para petani sangat khawatir kebijakan impor beras tersebut akan berdampak terhadap jatuhnya harga gabah dan beras ditingkat petani. Kebijakan impor 500.000 ton beras ini akan menjadi pukulan berat bagi petani, pada saat petani sedang memasuki musim panen raya.

7. Setelah mendapat banyak kritik dari masyarakat, Permendag No.1 Tahun 2018 dinyatakan tidak berlaku efektif, karna Pemerintah kembali kepada Peraturan Presiden (Perpres) No. 48 Tahun 2016, dimana impor beras dilakukan oleh Perum Bulog untuk keperluan stabilitas harga dan ketahanan pangan nasional.

8. Artinya kebijakan impor 500.000 ton beras dikembalikan kepada Bulog, setelah sebelumnya diserahkan kepada PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Pemerintah hanya sekedar mengalihkan lembaga yang bertanggung jawab terhadap Impor, tetapi tidak mengindahkan kekhawatiran petani terhadap dampak psikologis harga yang ditimbulkan dari kebijakan impor beras tersebut.

9. Pemerintah seharusnya mencari cara yang lebih elegan dengan menunjukkan keberpihakan kepada petani. Mengembalikan peran Bulog sebagai lembaga penyangga pangan nasional secara utuh dalam mengamankan pasokan dan stabilitas harga.

10. Pemerintah harus punya komitmen untuk menyerap semua gabah dan beras petani pada tingkat harga yang menguntungkan bagi petani. Berapapun tingkat harga gabah petani dalam negeri selama persediaan dan barangnya tersedia, Pemerintah wajib untuk membelinya, kebijakan ini sebagai bentuk memuliakan para petani. Selain itu, Pemerintah harus punya keberpihakan untuk memperkuat kelembagaan petani sehingga mampu bermitra dengan Bulog atau penggilingan padi, sehingga petani akan punya nilai tawar tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan yang lebih baik.