RAPBN 2017 Masih Belum Realistis

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS Refrizal
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS Refrizal

Jakarta (23/8) – Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS,  Refrizal menilai Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 masih belum realistis. Sebab, Refrizal berkaca pada pertumbuhan tahun 2015 yang hanya sebesar 4,8 persen, dimana menjadi terendah dalam lima tahun terakhir.

Daya Saing Ekonomi Global (Global Competitiveness Report) tahun 2015-2016 Indonesia pun juga mengalami penurunan hingga 3 peringkat, dari 34 menjadi 37 dari 140 negara.

“Inilah salah satu alasan mengapa saya katakan RAPBN 2017 masih belum realistis,” ungkap Refrizal pasca pembacaan pandangan fraksi-fraksi mengenai RUU tentang APBN Tahun 2017 beserta Nota Keuangannya, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/8).

Refrizal menambahkan, saat ini suku bunga SPN (Surat Perbendaharaan Negara) 3 bulan sebesar 5,3 persen, dinilai masih terlalu tinggi. Seharusnya, saran Refrizal, dapat ditekan di kisaran 5 persen. Padahal, SPN yang tinggi menunjukkan fundamental ekonomi masih belum baik dan akan memengaruhi beban APBN ke depan.

“Masih tingginya SPN akan menyulitkan rencana pemerintah untuk mewujudkan bunga perbankan single digit,” ungkap wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Sumatera Barat II ini.

Selain dari sisi SPN, target tingkat kesenjangan (gini ratio) sebesar 0,38 pada RAPBN 2017 masih terkesan terlalu optimis. Walaupun ada tren penurunan gini ratio, namun faktanya, jelas Refrizal, kontribusi pengeluaran penduduk 40% terbawah justru mengalami penurunan, yaitu dari 17, 2% pada Maret 2015 menjadi 17,02%

“Artinya, ini mengindikasikan bahwa turunnya gini ratio belum mencerminkan makin sejahteranya masyarakat miskin, melainkan lebih didorong karena makin sejahteranya kelas menengah,” jelas Politisi PKS sejak 2004 ini.

Dengan demikian, Refrizal meminta pemerintah harus memperhatikan potensi ledakan sosial akibat semakin tingginya kesenjangan di masyarakat. Diperkirakan sekitar 10 persen orang terkaya menguasai 77 persen dari total kekayaan nasional. Sehingga, 200 juta lebih penduduk Indonesia hanya menikmati distribusi kue pembangunan tak lebih dari 25 persen.

“Indikatornya lainnya mengenai tingkat kesenjangan antara lain, masih tingginya inflasi di perdesaan, terutama pada bahan makanan, nilai tukar petani belum membaik secara signifikan dan masih minimnya realisasi kredit UMKM yang hanya sekitar 18 persen dari total kredit perbankan,” papar Refrizal.

Oleh karena itu, Refrizal berharap pemerintah harus lebih memerhatikan kualitas dalam penyusunan APBN karena akan berdampak besar bagi masyarakat.

“Dengan demikian RAPBN yang realistis dan kredibel adalah hal yang sangat mendasar,” papar Refrizal.