Puncak Akumulasi Pembayaran Utang Negara Akan Terjadi Pada Tahun 2033

Pada hari Senin, 9 April 2018 lalu, Menteri Keuangan memberi kuliah umum terhadap mahasiswa Fakultas Bisnis dan Ekonomika Undip. Ia bicara dengan tema Digital Distruption: Tantangan dan Peluang Membangun Pondasi Ekonomi Indonesia 2045. Dalam paparannya, Sri Mulyani menilai pada 2045 Indonesia akan menjadi negara dengan pendapatan domestik bruto (PDB) terbesar kelima di dunia. Apapun yang dilakukan Indonesia akan mempengaruhi negara lain. Peluang untuk bisa mencapai PDB terbesar kelima di dunia memang didukung berbagai potensi yang terdapat di Indonesia, diantaranya adalah akan adanya Bonus Demografi yang semakin besar dan puncaknya diperkirakan terjadi pada tahun 2028 sampai 2031, dimana akan terjadi peningkatan jumlah angkatan kerja usia produktif yang akan disertai dengan meningkatnya tabungan masyarakat, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.


Sebagaimana berbagai peluang yang tersedia untuk mendukung tercapainya PDB Indonesia menjadi terbesar kelima di dunia, maka pada beberapa tahun mendatang juga akan dijumpai tantangan dan hambatan yang menghadang. Diantara tantangan yang ada adalah sebagaimana disampaikan sendiri oleh Presiden pada hari Sabtu, 7 April 2018. Presiden Jokowi menjelaskan, sejak dirinya dilantik, Indonesia sudah memiliki utang sebesar Rp 2.700 triliun. Nilai itu kemudian terus membengkak akibat adanya bunga. "Saya dilantik utangnya sudah Rp 2.700 triliun. Saya ngomong apa adanya. Bunganya setiap tahun Rp 250 triliun. Kalau 4 tahun sudah tambah 1.000," kata Jokowi2. Apa yang disampaikan Presiden tidak sepenuhnya benar, karena penambahan utang sekitar Rp 1.000 triliun, meningkat dari Rp 2.608,80 Triliun (2014) menjadi Rp 3.672,0 Triliun (Mei 2017)3, merupakan penambahan utang baru yang diusulkan pemerintahan JKW-JK. Sedangkan bunga utang (dan pokok utang) pertahun yang sebenar Rp 250 triliun, baik kewajiban utang lama (sampai 2014) maupun utang baru (setelah 2014) sudah dibayar oleh Negara dalam APBN 2015-2020 (tenor pendek) bahkan sampai APBN 2038 (tenor panjang), baik melalui belanja negara (bunga utang), maupun melalui pembiayaan negara (pokok utang).

Posisi utang Indonesia per Juni 2017 sebesar Rp 3.706,5 triliun, dengan porsi utang SBN mencapai Rp 2.965,2 triliun (80%). Artinya utang SBN selama tahun 2010 – 2017 dalam kurun 7 tahun telah melonjak 300% (tiga kali lipat), atau dapat dikatakan bahwa utang SBN selama 1998 – 2017 dalam kurun 20 tahun telah melonjak dari Rp 100 triliun menjadi Rp 2.965,2 trilun, melonjak 2965% (sekitar tiga puluh kali lipat), sementara disisi lain utang pinjaman hanya bertambah dari Rp 453 triliun menjadi Rp 741,3 triliun kurang dari 100%. Padahal sebagian besar utang SBN Indonesia berbentuk tradable yang dapat diperjual belikan. Namun setiap periode lima tahunan kabinet pemerintah selalu menjaga agar dampak peningkatan penerbitan SBN tenor pendek (1, 3, dan 5 tahun) terhadap risiko pembiayaan kembali secara keseluruhan relatif rendah, sehingga pada saat yang sama penerbitan SBN seri benchmark dengan tenor menengah-panjang (8, 15, dan 21 tahun) diupayakan tetap dominan. Selain itu, upaya untuk mengurangi resiko SBN tenor pendek adalah dengan tetap menjalankan program pembelian kembali (buyback) dan penukaran utang (debt switch).

Sebagai contoh adalah posisi utang pemerintah pada 2010 yang sebesar Rp 1.681,7 triliun. Semua utang tersebut baru akan lunas pada tahun 2038. Dengan dominasi pembayaran utang tenor pendek jatuh tempo pada periode 2011 sampai 2020 sekitar Rp102 triliun per tahun, kemudian semakin mengecil sampai lunas pada 2038. Tetapi selain cicilan utang reguler pemerintah yang bertambah setiap tahun, ada utang Surat Utang eks BLBI kepada BI/SRBI-001 yang akan jatuh tempo pada 2033 dengan nilai sebesar Rp 131 triliun (Restrukturisasi 2008). Artinya nanti pada tahun 2033 akan ada akumulasi puncak pembayaran utang dari utang reguler tahunan sekitar Rp 250 triliun per tahun atau lebih, ditambah dengan utang Surat Utang eks BLBI kepada BI/SRBI-001 dengan nilai sebesar Rp 131 triliun (Jakarta, 10 April 2018. Oleh: Memed Sosiawan, Bidang Ekuintek-LH, DPP PKS).