Presiden PKS Bicara Soal Oposisi, Surya Paloh dan Anies Baswedan

Jakarta - Di tengah kecenderungan partai-partai merapat ke koalisi pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Partai Keadilan Sejahtera malah menyatakan ingin menjadi oposisi. Presiden PKS Sohibul Iman meyakini partainya bisa menemukan celah menjadi oposisi kendati parlemen didominasi koalisi parlemen.

"Kebijakan Pak Jokowi itu belum tentu selalu mencerminkan kebijakan setiap partai. Ketika partai tidak merasa terwakili dengan kebijakan Pak Jokowi, tentu partai itu akan meminta kepada anggota dewannya untuk kritis," kata Sohibul dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya, awal Desember lalu.

Selama sekitar 60 menit, Sohibul juga menyinggung beberapa hal lainnya. Termasuk soal pertemuan partai dakwah dengan Partai Nasdem dan Berkarya, serta kedekatannya dengan Ketua Umum NasDem Surya Paloh.

Dia pun angkat bicara soal kemungkinan mengusung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di pemilihan presiden 2024. Mantan rektor Paramadina ini juga menyampaikan kritiknya untuk Anies.

Bagaimana strategi PKS menjadi oposisi yang kuat dan sukses?

Sebagai oposisi di sistem presidensial, ini juga kontroversi orang bilang tidak ada oposisi, tapi intinya check and balance terhadap pemerintahan di dalam sistem presidensial memang berbeda dengan parlementer. Kalau di kita, pada dasarnya DPR yang berfungsi menjalankan check and balance kepada pemerintah.

Seluruh anggota DPR mestinya fungsinya mengontrol pemerintah. Bahwa di antara mereka ada partai yang mendukung pemerintah, itu sebuah kenyataan, tapi tugas mereka tetap mengontrol pemerintah. Makanya PKS tidak merasa sendirian. PKS bisa kolaborasi dengan mereka dalam isu-isu tertentu.

Kami insya Allah akan membangun kebersamaan dengan partai-partai lain di DPR, isu per isu. Jadi setiap isu kami pasti ada teman. Sesungguhnya kami tidak sendirian. Apalagi kalau kita bicara membangun kebersamaan dengan pressure group di luar parlemen. Apakah itu NGO atau yang lain. Kami akan melakukan komunikasi dengan mereka, mudah-mudahan ada kesepahaman.

PKS melihat ada celah walaupun koalisi pemerintah menguasai 60-70 persen parlemen?

Iya, kami sangat optimistis selalu ada celah dalam setiap isu. Kami bisa bersama partai pemerintah dalam isu-isu tertentu. Mereka juga bisa kritis kepada pemerintah, karena kebijakan Pak Jokowi itu belum tentu selalu mencerminkan kebijakan setiap partai. Ketika partai tidak merasa terwakili dengan kebijakan Pak Jokowi, tentu partai itu akan meminta kepada anggota dewannya untuk kritis. Saat itulah PKS bisa bekerja sama dengan mereka.

Sudah pernah dapat tawaran masuk pemerintahan?

Kalau tawaran eksplisit bergabung ke pemerintahan dan dapat menteri, tidak seeksplisit itu. Tapi sebelum pembentukan kabinet, Pak Pratikno mengajak bicara Pak Hidayat Nur Wahid. Pak Jokowi merasa semua partai sudah berkomunikasi, tinggal PKS. Beliau mengusulkan Presiden PKS diminta bertemu Pak Jokowi.

Pak Hidayat menjawab, kami sangat memuliakan silaturahmi itu, kami siap berkomunikasi, tetapi timing-nya agar dilakukan setelah terbentuknya kabinet. Karena PKS khawatir kalau bertemu sebelum pembentukan kabinet, kami dipersepsi mencari posisi di kabinet. Seperti itulah ajakannya, walaupun tidak menjanjikan ketemu pasti dapat menteri, tapi ajakan itu ada. Karena kami khawatir itu berujung pada ajakan kabinet, kami tidak mau melakukannya sebelum kabinet terbentuk.

Sekarang kabinet sudah terbentuk, sudah ada ajakan bertemu?

Belum tuh, padahal saya ketemu Pak Jokowi sudah dua kali. Satu di Kongres Nasdem, kemarin di Munas Golkar. Belum ada ajakannya.

Menunggu-nunggu?

Bukan menunggu-nunggu. Maksudnya setelah pembentukan kabinet, anytime Pak Jokowi ajak ketemu kami siap. Tapi bukan berarti kami ngarep-ngarep.

Apa alasan PKS menempuh jalan oposisi?

Alasannya rasional. Pertama kami ingin menjaga logika demokrasi, harus ada checks and balances. Di saat partai-partai belum ada yang melakukan, PKS tampil di situ. Kita akan diketawain dunia, negara demokrasi terbesar ketiga tapi ternyata tidak ada oposisi yang melakukan checks and balances. PKS ingin menjaga logika demokrasi.

Kedua, PKS juga ingin sirkulasi kekuasaan demokrasi berjalan dengan baik. Sirkulasi ditentukan kontestasi, pasti ada yang menang ada yang kalah. Nah yang menang kita beri kesempatan memerintah, yang kalah berjuang lagi di luar pemerintahan untuk mengambil hati rakyat siapa tahu nanti menang.

Ketiga, beberapa survei menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen menginginkan agar pemerintahan Pak Jokowi di periode kedua diawasi. Atas dasar itu kami mengikuti apa yang diinginkan rakyat.

Kami mendukung rekonsiliasi, tapi kami berbeda cara dengan pendapat beberapa pihak kalau mau rekonsiliasi gabung ke Pak Jokowi. Inilah yang kami lakukan, berkomunikasi dengan NasDem, dengan Berkarya, dengan Muhammadiyah, dengan semua pihak.

Apa yang diharapkan dari pertemuan dengan Nasdem, Berkarya, Muhammadiyah, kalau dari sisi elektoral?

Itu sudah pasti inheren dari semua move partai pasti untuk memperbesar konstituen, itu sudah tidak usah dipertanyakan. Saya kira publik sangat memahami. Tapi apa kita mencari itu saja? Tadi saya katakan, di luar masalah konstituensi, kami ingin juga kontribusi menciptakan rekonsiliasi, kebersamaan, dan juga menjaga marwah oposisi.

Pak Surya Paloh dalam pertemuan dengan Anda menyebut PKS saudara tua, maksudnya?

Itu mungkin karena masalah berdirinya, PKS lebih dulu daripada NasDem, sehingga disebutlah saudara tua. Makanya prolog di sini yang disampaikan, kami ingin belajar mengambil pengalaman dari partai yang lebih dulu ada. Di situlah disebut saudara tua.

Anda dekat dengan Surya Paloh?

Saya membangun hubungan dengan Surya Paloh itu sudah beberapa tahun lalu. Awalnya di pertemuan-pertemuan kenegaraan seperti MPR. Beliau kan orangnya memang supel ya, mengajak ngobrol saya, saya ajak ngobrol beliau. Beliau ternyata punya pandangan stereotipe tentang PKS. Beliau katakan kepada saya, "Dinda, abang tahu orang-orang pintar banyak di PKS. Tapi abang enggak suka kalau mereka radikal."

Saya langsung, "Bang jangan sembarangan bilang. Kalau abang menemukan ada orang radikal dan menyebut dirinya PKS laporin kepada saya. Nanti saya cek. Kalau benar itu kader PKS, akan kena disiplin organisasi, karena PKS tidak menolerir radikalisme". Terus ketemu lagi, masih ngomong begitu lagi. Terus ketemu lagi di pernikahan anaknya Pak Jokowi, masih ngomong begitu lagi.

Akhirnya saya bilang, "Bang ini kayaknya kita perlu ngobrol yang lebih serius, saya bilang". Berapa bulan kemudian ngajak makan siang, ngobrol dua jam. Banyak hal kami bahas. Akhirnya beliau mengatakan, "Dinda, ini di luar persoalan politik ini kita ini sama sebetulnya. Abang ingin deh kerja sama PKS dan NasDem. Tapi jangan berdimensi politik, lebih ke nation and character building. Kita adakan seminar dan sebagainya". Oke bang saya setuju.

Karena kebetulan Pak Surya Paloh ini kan istrinya ada keturunan Jepang, dia tahu saya lulusan Jepang, jadi ketika ngobrol nyambung bener tentang bagaimana hal yang bisa dicontoh dari Jepang. Dari situ kemudian ya ada komunikasi terus, akhirnya setelah pilpres, "Dinda abang ingin ke PKS". Saya bilang "Biar saya aja deh bang". "Enggak, enggak boleh, biar saya yang datang ke sana". Mungkin itu tadi, dia merasa PKS saudara tua.

Jadi keakraban itu terbangun sedemikian lama. Saya merasa beliau ini orang yang kalau bergaul itu gampang sekali, dan ekspresif. Makanya muncullah rangkulan kebangsaan.

Terkait pertemuang dengan Partai Berkarya, apa yang Tommy Soeharto turun gunung?

Kami enggak tahu alasannya. Tapi sebelumnya saya sudah bertemu Mas Tommy waktu di car free day, sebelum pilpres. Jadi waktu itu ada ikhtiar beberapa temen lingkaran Mas Tommy. Tapi enggak jadi-jadi. Kedua kali. Ketiga kali mau ketemu bareng Pak Prabowo, kami bertiga, enggak jadi juga. Yang jadinya ketemu di car free day.

Sebelum pilpres yang kemudian saya sama-sama makai kaus terima kasih Indonesia. Sekarang beliau mau ke sini, apa karena kami pernah ketemu sehingga beliau mau ke sini, saya enggak tahu.

Benar Tommy Soeharto dekat dengan Salim Segaf Al Jufri?

Mungkin ada ya. Beliau mengakui begitu dan Habib Salim membenarkan. Maksudnya udah kenal lama gitu. Tapi kenalnya bukan berarti sering aktivitas bareng. Mungkin, orang sama Habib tuh menaruh hormat.

Pertemuan Anda dan Surya Paloh terjadi di saat hubungan NasDem dan PDIP sedang tak harmonis. Publik melihat ini penjajakan mengusung Anies Baswedan.

Ya kemungkinan itu ada, dan itu biarkan saja itu jadi niat NasDem. Saya tidak punya kepentingan untuk menghalang-halangi orang punya niat seperti itu. Dan dalam politik kan mencari celah itu adalah pekerjaan para politisi dan partai politik. Apakah beliau datang ke PKS itu adalah untuk memuluskan pencalonan Anies ke depan, ya itu silakan. Tapi kenyataan riilnya di sini tidak dibicarakan sama sekali. Publik mau menghubung-hubungkan silakan, tapi saya katakan di sini tidak ada pembicaraan itu sama sekali.

Ya boleh jadi juga Bang Surya Paloh itu memang sedang memainkan politik simbol. Anies Baswedan PKS ini kan simbolnya enak bener untuk 2024. Ini kan dia memainkan politik simbol. Ya silakan saja itu kan hak mereka, hak NasDem dan Surya Paloh.

Menurut PKS Anies calon pemimpin masa depan?

Terlalu dini membicarakan itu, dan itu sudah wewenangnya Majelis Syuro. Kepemimpinan yang sekarang akan berakhir 6 bulan yang akan datang. Jadi yang sekarang ini ngapain mikirin itu, bukan tugas kita kok.

PKS kan dikenal belum punya tokoh, kenapa enggak Anies?


Tentu kami berusaha mencari tokoh dari internal maupun eksternal. Tapi kembali saya katakan, terlalu dini.

Sosok Anies sendiri menjanjikan?

Nah ini juga nanti kepengurusan berikutnya (yang menilai), harus berbasis kinerja dia di DKI. Harus ada evaluasi komprehensif terkait kinerja beliau. Kalau baik menurut Majelis Syuro yang akan datang, why not mereka menjadikan itu sebagai salah satu alternatif. Jadi politik ini jangan terlalu tergesa-gesa, kedua, apa pun bisa terjadi.

Menurut Anda keberhasilan Anies Baswedan di DKI seperti apa, dari skala 1-10?
Pertama, kami belum melakukan evaluasi komprehensif, jadi saya belum bisa memberikan penilaian yang sesuai skala itu. Secara general saya kira kemajuan-kemajuan yang dilakukan Pak Anies tidak kalah dengan apa yang dulu dilakukan Ahok. Bahkan menurut saya dalam beberapa hal Pak Anies punya nilai lebih, karena ini masalah style, memang Pak Anies bisa merangkul dan menciptakan keteduhan. Saya kira DKI sekarang lebih kondusif untuk terciptanya harmoni antarwarga. Hasil-hasil pembangunan, ruang terbuka hijau sekarang semakin kelihatan bagus lebih tertata. Ada lah kemajuan itu, tapi seberapa kami tidak bisa bicara sebelum kami evaluasi komprehensif.

Kritik Anda untuk Anies?

Yang pertama, Pak Anies belum pernah menyampaikan bahwa beliau ingin punya wagub. Belum menyampaikan kepada saya bahwa beliau ingin punya wagub. Apakah mau jomblo? Nah itu kan.

Ya terus, selebihnya saya kira Pak Anies menurut saya perlu lebih merangkul semua elemen di DKI ini, karena seorang gubernur itu kan tidak boleh memilih warga, dia harus menjadi gubernur semua. Menurut saya harus lebih mencerminkan sebagai seorang gubernur yang dia mengayomi semua. Saya kira itu penting sekali untuk, karena isu setelah pilkada DKI itu isu kebersamaan. Saya kira selama kepemimpinan ini isu ini tidak boleh lalai, harus terus dijadikan program kontinyu.

Anda sepakat dengan Surya Paloh agar Anies tidak diidentikkan dengan kelompok Islam saja?

Iya dong, dan PKS begitu juga. Kita di Indonesia ini kan takdir sosiologisnya beragam. Kalau mau dikerucutkan ada kelompok Islam ada kelompok nasionalis. Itu kenyataan sosiologis kita. Maka kita tidak mungkin memilih yang Islamnya saja, nasionalisnya enggak, enggak mungkin. Pemimpin kayak apa seperti itu. Apalagi ditambah dengan takdir historis kita. Negeri ini tegak merdeka kan dibangun oleh dua kelompok ini. Masa mereka sama-sama memberi kontribusi untuk negeri ini kok yang satu diayomi yang satu tidak.

Nah problem terbesar kita hari ini adalah menemukan titik ekuilibrium peran nasionalis dan kelompok Islam. Titik keseimbangan ini hanya bisa ditemukan kalau antardua kelompok ini berkomunikasi, duduk bersama. Pemimpin-pemimpin baik pada level kabupaten maupun provinsi dan nasional harus memfasilitasi itu semua. Kalau dulu bisa kenapa hari ini enggak bisa?

Sekarang bagaimana?

Belum menurut saya, kenapa? Karena kita masih malas membangun komunikasi. Saya selalu katakan, orang kalau tidak pernah berkomunikasi yang muncul imajinasi. Yang diimajinasikan yang buruknya aja. Maka selama tidak mau bertemu, konstruksi masing-masing terhadap lawannya itu pasti memburuk. Tapi begitu komunikasi, jangankan sudah terjadi sharing opini, baru lihat gesture-nya saja sudah berubah. Apalagi terjadi tukar menukar pikiran.

Sumber: Tempo