Pemerintah Mulai Panik Melihat Perkembangan Turki

Handi Risza

Ekonom PKS

Penyikapan berbeda diperlihatkan oleh pemerintah terhadap kondisi rupiah, setelah melihat perkembangan ekonomi Turki pada saat ini. Sebelumnya pemerintah masih menganggap pelemahan rupiah adalah hal yang biasa, bahkan Menkeu Sri Mulyani berkali kali menyatakan bahwa APBN kita mendapatkan untung dengan terjadinya pelemahan rupiah, akibat bertambahnya pendapatan negara dari ekapor Migas.

Turki di Ujung Krisis

Tetapi dengan melihat kondisi ekonomi Turki terakhir, di mana dimulai dengan krisisis mata uang, kemudian berlanjut ke krisis keuangan dan liquiditas, akibatnya ekonomi Turki diambang krisis ekonomi dan keuangan yang dalam.

Perkembangan terakhir mata uang Lira Turki melemah 6,70% menjadi 6,86 per dolar AS. Ini melanjutkan pelemahan akhir pekan lalu, di mana lira ambruk 15% ke posisi 6,43 per dolar AS. Kondisi ini membuat Turki sangat rentan menjadi negara yang masuk dalam jurang krisis.

Pelemahan lira yang sangat drastis tersebut, telah menyebabkan kekalutan yang luar biasa di banyak negara, termasuk Indonesia. Melemahnya rupiah menjadi yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara, terjadi lantaran pasar panik dengan krisis di Turki. Apalagi, Indonesia sempat disebut termasuk salah satu negara yang masuk dalam kategori Fragile Five, bersama Turki, Brasil, India dan Afrika Selatan. Nilai tukar rupiah sampai dengan sore ini di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) masih berkisar Rp 14.625 per 1 USD.

Fundamental Ekonomi yang Rapuh

Kondisi ini semakin tidak menguntungkan, mengingat current account deficit (CAD) Indonesia di kuartal II 2018, melebar menjadi 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Tetapi, kita masih diuntungkan dengan defisit anggaran pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) yang hanya mencapai 0,75 persen.

Sentimen negatif domestik dari kondisi defisit transaksi berjalan yang melebar, rapuhnya fundamental ekonomi dalam negeri. Selain itu, besarnya utang luar negeri yang mulai menjadi beban negara. Pembangunan infrastruktur yang sporadis yang tidak sebanding dengan efek terhadap pertumbuhan ekonomi yang diciptakan, membuat ekonomi nasional cukup rentan. Apalagi ditambah dengan tekanan regional yang cukup tinggi. Sehingga telah membuat nilai non deliverable forward (NDF) rupiah kemudian angka mendekati Rp 14.600-14.700.

Kebijakan Antisipatif

Bank Indonesia harus segera mengambil langkah langkah yang preventif, dengan mengeluarkan kebijakan moneter dan intervensi pasar. BI juga diharapkan tetap berada di pasar dan melakukan intervensi di pasar obligasi dan valas. Kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan bisa menahan pelemahan rupiah lebih dalam.

BI juga harus punya timing yang cermat, tepat dan dan cepat, karna BI tidak selalu berada di pasar dalam setiap titik dan waktu. BI harus memastikan bahwa jangan sampai kecepatan pelemahan melebihi kecepatan intervensi BI.

Tetapi perlu diingat pelemahan rupiah tidak semata-mata disebabkan oleh faktor eksternal, terutama kondisi lira hari ini, tetapi disumbang juga oleh faktor internal yaitu kinerja perekonomian nasional. Salah satunya adalah kondisi current account menjadi salah satu pemicu pelemahan rupiah. Tren defisit neraca perdagangan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir ini, telah menyebabkan current account deficit (CAD) Indonesia di kuartal II 2018, melebar menjadi 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Oleh sebab itu BI tidak bisa sendiri dalam menjaga dampak yang ditimbulkan dari pelemahan rupiah saat ini. Perlu ada bauran kebijakan monter dan fiskal (Policy Mix) oleh regulator yang tepat. Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter perlu terus dimaksimalkan dalam rangka menjaga neraca pembayaran, cadangan devisa, defisit dan inflasi.

Pemerintah Tidak Boleh Panik

Kepercayaan diri pemerintah mencapai titik balik, ketika krisis keuangan Turki mulai berimbas kebanyak negara. Pemerintah mulai kelihatan panik dalam merespons krisis lira. Apalagi gejalannya relatif sama, kena dampak kebijakan FED, defisit transaksi, ULN yang besar, pembangunan infrastruktur yang sporadis. Semoga gejala-gejala tersebut tidak menjalar kepada situasi yang lebih kronis. Kuncinya Pemerintah tidak boleh panik dan menganggap enteng, waspada, dengan menggunakan formulasi kebijakan moneter dan fiskal yang tepat. Wallahu'alam.