Pelemahan Rupiah dan Ancaman Krisis

Handi Risza

Sekretaris Bidang Ekuinteklh DPP PKS

1. Kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat Federal Reserve (The Fed) sedang tidak bersahabat dengan banyak negara berkembang di dunia, termasuk Indonesia. Betapa tidak, hingga akhir tahun 2018 The FED berencana untuk menaikkan suku bunganya hingga empat kali. Diperkirakan kenaikan berikutnya pada bulan September dan Desember 2018. Bahkan The Fed juga mengisyaratkan dapat menaikkan bunga acuan pada kecepatan yang lebih agresif pada tahun-tahun mendatang di 2019 dan 2020 untuk menjaga penguatan ekonomi AS lebih stabil.

2. The Fed memutuskan menaikkan tingkat suku bunga acuan untuk pertama kalinya pada 23 maret 2018, sebesar 25 basis point ke level 1,5 dan 1,75 persen. Kenaikan ini menjadi yang pertama di tahun 2018. Akibatnya rupiah jatuh hingga mendekati Rp.14.000 per USD.

3. The Fed kembali menaikkan tingkat suku bunga untuk kedua kalinya sebesar 25 basis poin pada13 Juni 2018. Dampaknya lebih parah, nilai tukar rupiah menembus 14.400 per dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan  perdagangan Jumat (29/6). Artinya, rupiah terdepresiasi nyaris 6% sepanjang tahun ini (year to date/ytd) dan masuk dalam jajaran mata uang negara berkembang yang paling terpukul oleh dolar AS. Bahkan pelemahan rupiah kali ini masuk dalam kategori terburuk semenjak krisis  ekonomi 1998.

3. Begitu pula dengan negara-negara lainnya, berdasarkan data Bloomberg per Kamis (28/6), mata uang negara berkembang yang anjlok paling besar yaitu peso Argentina (33,71%), lira Turki (17,15%), real Brazil (14,3%), dan rand Afrika Selatan (10,08%). Sementara itu, di kawasan Asia, pelemahan paling besar dialami *rupe India (7,15%), peso Filipina (6,74%), dan rupiah (5,71%).

4. Bank Indonesia telah mengeluarkan kebijakan moneter dan intervensi pasar. Kebijakan pre-emptive, front loading dan ahead the curve dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada Mei lalu dan Selain itu BI juga diharapkan tetap berada di pasar dan melakukan intervensi di pasar obligasi dan valas. Kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan bisa menahan  pelemahan rupiah lebih dalam.

5. BI harus punya timing yang cermat, tepat dan dan cepat, karena BI tidak selalu berada di pasar dalam setiap titik dan waktu. BI harus memastikan bahwa jangan sampai kecepatan pelemahan melebihi kecepatan intervensi BI.

6. Tetapi perlu diingat pelemahan rupiah tidak semata-mata disebabkan oleh faktor eksternal kenaikan suku bunga The Fed, tetapi disumbang juga oleh faktor internal yaitu kinerja perekonomian nasional. Salah satunya adalah kondisi current account barang dan jasa menjadi salah satu pemicu pelemahan rupiah. Tren defisit neraca perdagangan yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan tersebut akan meningkatkan kebutuhan pembelian terhadap mata uang dolar AS lebih tinggi, dibandingkan dengan rupiah.

7. Berdasarkan data BPS, nilai impor semenjak Januari 2018 mengalami defisit perdagangan mencapai US$670 juta. Defisit itu terjadi karena nilai impor yang mencapai US$15,3 miliar, sedangkan kinerja ekspor hanya US$14,46 miliar. Lebih parah lagi neraca perdagangan bulan Mei 2018 mengalami defisit sebesar US$ 1,52 miliar. Hal ini disebabkan nilai impor lebih tinggi sebesar US$ 17,64 miliar dibandingkan dengan nilai ekspor yang sebesar US$ 16,12 miliar.

8. Oleh sebab itu BI tidak bisa sendiri dalam menjaga dampak yang ditimbulkan dari pelemahan rupiah saat ini. Perlu ada bauran kebijakan monter dan fiskal (Policy Mix) oleh regulator yang tepat. Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter perlu terus dimaksimalkan dalam rangka menjaga neraca pembayaran, cadangan devisa, defisit dan inflasi. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), dalam menjaga stabilitas rupiah, cadangan devisa Indonesia sudah terkuras 6,89 persen dari US$132 miliar pada Januari menjadi US$122,9 miliar pada Mei 2018.

9. Pemerintah tidak boleh lagi menganggap enteng pelemahan rupiah yang terjadi saat ini, melalui pernyataan para pejabatnya. Justru Pemerintah harus menunjukkan kewaspadaan yang mendalam. Pemerintah harus memastikan setiap pengeluaran yang terkait kurs dalam kondisi terkendali. Apalagi asumsi kurs dalam APBN 2018 masih dipertahankan sebesar Rp. 13.400, bisa dipastikan kondisi tersebut akan berdampak terhadap belanja subsidi BBM serta pembayaran pokok maupun bunga utang yang semakin menumpuk. Jika tidak ditangani secara hati-hati bahaya krisis ekonomi akan siap mengancam kapan saja.

10. Selain itu yang paling penting harus dijaga oleh Pemerintah adalah menjaga stabilitas ekonomi masyatakat. Apalagi stagnasi pertumbuhan ekonomi dalam tiga tahun terakhir, harus menjadi signal bagi Pemerintah untuk mulai realistis dalam mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi mengeyampingkan stabilitas perekonomian masyarakat. Banyak kebijakan Pemerintah yang tidak menunjukkan keberpihakan langsung kepada masyarakat. Diantarannya adalah menaikan harga BBM, tarif tol dan harga pangan, semuanya akan bermuara pada daya beli masyarakat dan tingkat kesejahteraan maayarakat yang semakin menurun. Ditambah lagi Pemilu Presiden sudah di depan mata.*

Wallahua'lam