Merawat Rekonsiliasi Hamas-Fatah

Oleh: Sukamta Ph.D


Republika 18 Oktober 2017

Kabar disepakatinya rekonsiliasi Hamas dan Fatah dengan fasilitasi Mesir menjadi kabar gembira bagi warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat. Kabar ini juga menjadi perhatian dunia internasional, tidak sedikit pemimpin dunia yang menyambut gembira perkembangan ini meski juga ada suara-suara skeptis yang meramalkan rekonsiliasi tidak akan berjalan lama.

Bagi kita Bangsa Indonesia perkembangan positif di Palestina ini patut untuk disambut dengan gembira dan diharapkan menjadi tahapan yang lebih nyata terwujudnya kemerdekaan dan perdamaian. Harapan ini mengemuka dengan melihat berbagai proses rekonsiliasi sejak tahun 2007 selalu mengalami jalan buntu. Beberapa negara seperti Arab Saudi, Turki, Qatar, Rusia hingga Liga Arab pernah memediasi kedua belah pihak namun juga tidak mampu menghasilkan kesepakatan. Akhirnya harapan itu muncul dalam proses tiga bulan terakhir dengan mediator Mesir dan hasilkan kesepakatan rekonsiliasi.

Perkembangan yang berharga ini tentu perlu untuk dirawat, ini tidak hanya penting bagi Palestina tetapi juga situasi regional Timur Tengah yang selama ini dipenuhi dengan gejolak. Tetapi jika mendasarkan pengalaman sebelumnya dimana proses rekonsiliasi sering alami kegagalan, timbul pertanyaan, apakah rekonsiliasi ini akan berjalan lama? Apakah yang perlu dilakukan oleh Indonesia untuk ikut mendorong keberlangsungan rekonsiliasi di Palestina?

Rekonsiliasi Kemanusiaan dan Politik

Ada tiga kesepakatan penting yang dicapai antara Hamas dan Fatah; Pertama, pengamanan perbatasan Gaza-Mesir di Rafah diserahkan kepada pemerintah bersama Palestina dengan pengawasan Badan Perbatasan Uni Eropa (EUBAM). Perbatasan yang selama ini dikelola Hamas tersebut akan dijaga oleh Pengawal Kepresidenan Palestina. Kedua, seluruh kendali administrasi di Gaza yang saat ini dikelola Hamas akan diserahkan kepada Pemerintah Bersama pada 1 Desember 2017 dan ketiga, Palestina akan menggelar pemilihan presiden dan pemilihan legislatif setahun sejak kesepakatan rekonsiliasi ditandatangani.

Jika menilik ketiga kesepakatan tersebut, terlihat ada motif kemanusiaan yang cukup kuat melatarbelakangi rekonsiliasi. Baik Hamas maupun Fatah menyadari kondisi social ekonomi warga Palestina yang hidup terisolasi khususnya di wilayah Gaza semakin memburuk. Poin pertama kesepakatan terkait pengelolaan perbatasan Gaza-Mesir di Rafah tentu akan membuka akses bagi warga Palestina untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Kesepakatan ini juga akan membuka akses bagi tersedianya listrik dan air minum dari wilayah Mesir. Motif kemanusiaan ini nampak lebih kuat pada pembicaraan rekonsiliasi yang berbuah kesepakatan ini.

Beberapa analisis menyebutkan jika krisis kemanusiaan di Gaza semakin menguat hal ini juga akan berimbas kepada Mesir. Barangkali ini salah satu alasan yang membuat Mesir sangat bersemangat memediasi Hamas dan Fatah. Mesir cukup khawatir dengan berkembangnya kelompok ISIS di Sinai dan berharap Hamas dengan kekuatan pasukannya bisa ikut membantu meniadakan ruang gerak bagi ISIS di Gaza. Mesir juga khawatir situasi kemanusiaan yang memburuk di Gaza akan memicu kembali perang Gaza-Israel dan ini bisa mendorong gelombang pengungsian ke wilayahnya.

Selain motif kemanusiaan, motif politik juga mendorong rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah. Secara internal baik Hamas maupun Fatah menyadari kebuntuan politik akan mendorong situasi Palestina semakin tidak berdaya saat berhadapan dengan tekanan Israel. Langkah Abbas mengisolasi Hamas di Gaza malah menyebabkan dirinya tidak disukai oleh publik Palestina. Ini tercermin dari jajak pendapat yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Kebijakan Palestina bekerjasama dengan lembaga Konrad Adenauer Foundation di Ramallah menunjukkan, Haniyah akan mendapatkan 50 % suara dan Abbas hanya 41 % suara apabila digelar pemilu presiden. Jajak pendapat ini juga menunjukan 67% mendukung Abbas lengser dan hanya 27% mendukung Abbas tetap menjadi presiden. Jumlah yang meminta Abbas lengser 60% di Tepi Barat dan 80% di Jalur Gaza.

Sementara motif politik secara eksternal dapat terlihat adanya adu pengaruh kekuatan di Timur Tengah dalam proses rekonsiliasi seperti ada kubu Mesir dan UAE yang dekat dengan Arab Saudi, Israel dan AS. Di sisi lain ada kubu Qatar dan Turki yang akhir-akhir ini cukup dekat dengan Rusia dan Iran. Proaktifnya Mesir dalam memediasi proses rekonsiliasi ini oleh beberapa kalangan disebut karena ada agenda untuk mendorong salah satu tokoh Fatah yang memiliki kedekataan dengan Israel dan AS, Mohammed Dahlan yang saat ini tinggal di UAE sebagai kandidat kuat pengganti Abbas yang semakin tidak populer di Palestina. Hal ini sebagai upaya menjaga peluang pemerintahan Palestina tetap dipegang kubu Fatah dan juga sebagai perimbangan terhadap kedekatan Qatar ke Hamas selama ini.

Namun demikian motif kemanusiaan yang lebih menguat inilah yang menurut hemat penulis mampu mendorong proses rekonsiliasi Hamas-Fatah saat ini bisa berjalan dengan lebih mulus dibanding proses sebelumnya. Isu-isu politik yang disepakati sejauh ini juga masih menghindari isu sensitif seperti terkait dengan batas wilayah Palestina, pengaturan pasukan keamanan yang dimiliki kedua belah pihak hingga persoalan teknis pemilu. Maka dalam hal ini rekonsiliasi yang sudah disepakati akan mendapatkan ujian nyata saat membahas isu-isu politik yang lebih sensitif.

Upaya Merawat Rekonsiliasi

Momentum rekonsiliasi yang baru saja terwujud antara Hamas dan Fatah perlu segera diikuti dengan agenda-agenda konkret yang mampu menguatkan kesepakatan yang telah tercapai dengan memberikan solusi beberapa persoalan pragmatis yang dihadapi Palestina saat ini seperti persoalan kebutuhan anggaran untuk menggaji pegawai pemerintah, pasokan listrik dan air minum, dibukanya pintu perbatasan Rafah.

Indonesia sebagai salah satu motor penyelenggaran KTT Luar Biasa OKI tentang Palestina yang digelar pada tahun 2016 di Jakarta perlu mendorong keaktifan OKI untuk mengamankan dan mendukung tindak lanjut kesepakatan antara Hamas dan Fatah. Hal ini dilakukan dengan memperkuat skema bantuan keuangan dan kemanusiaan untuk Palestina serta membuat tim khusus untuk ikut memantau pelaksanaan rekonsiliasi. Hal ini perlu dilakukan mengingat Mesir sebagai mediator yang sukses kali ini tentu membutuhkan dukungan negara-negara lain untuk mewujudkan berbagai kesepakatan yang telah dicapai. Pemerintah Indonesia secara khusus dapat meminta untuk digelar kembali pertemuan OKI dengan agenda tindak lanjut rekonsiliasi.

Dukungan negara-negara OKI ini sangat penting dilakukan mengingat kesepakatan rekonsiliasi rentan untuk gagal di tengah jalan. Israel sebagai kekuatan besar di wilayah Palestina, melalui PM Netanyahu telah mengeluarkan kecaman terhadap rekonsiliasi yang dianggap akan menyulitkan proses perdamaian. Israel tentu akan lebih nyaman dengan perpecahan di Palestina karena hal ini akan lebih memuluskan hegemoni Tel Aviv atas tanah di Palestina. Oleh sebab itu sangat mungkin upaya penggagalan terhadap rekonsilisasi ini akan dilancarkan pihak Israel.

Tentu kita berharap rekonsiliasi Hamas dan Fatah saat ini akan terus berjalan dengan baik dan mampu mendorong proses rekonsiliasi politik yang lebih luas. Kenegarawanan para pemimpin Hamas dan Fatah dengan mengedepankan kepentingan kemanusiaan diharapkan mampu tetap terjaga di tengah berbagai kepentingan politik yang ada. Kemerdekaan dan perdamaian di Palestina barangkali masih membutuhkan waktu yang lebih lama, namun babak baru persatuan Palestina kali ini kita harapkan mampu mempercepat perwujudannya.