Menteri Agama dan Isu Radikalisme

Oleh Bukhori, Lc

Anggota Komisi Agama

DPR 2019-2024

"Orang yang menuduh Islam itu radikal, dia itu orang radikal.

Islam bukan agama radikal, yang mengatakan Islam radikal, itu radikal."

Pernyataan KH Hasan Abdullah Sahal, pengasuh Pondok Modern Darussalam Gontor dalam wawancara dengan majalah Gontor, seolah menjadi alarm atas terpilihnya Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi sebagai menteri agama (menag) pada Kabinet Indonesia Maju yang dibentuk pemerintahan Joko widodo dan Ma’ruf Amin periode 2019-2024. Betapa tidak, penunjukan Fachrul selalu dilekatkan dengan upaya penangkalan radikalisme di Indonesia. Padahal, radikalisme kerap menyudutkan umat Islam, penduduk mayoritas Indonesia. Inilah pekerjaan rumah yang berat bagi Menag periode ini.

Secara ontologis, kata radikal sesungguhnya netral. Radikal dari kata radix berarti "sama sekali" atau sampai ke akar-akarnya. Pohon jika tanpa akar maka tidak akan tumbuh subur, bahkan akan mati. Ilmu jika tak dipahami sampai ke akarnya tidak akan mendapatkan pemahaman yang mendalam.

Dalam perspektif ontologis, istilah radikal tak ada masalah, karena bebas nilai. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI V), secara terminologi kata radikal artinya (1) secara mendasar, sampai hal yang prinsip. (2) amat keras menuntut perubahan. (3) maju dalam berpikir atau bertindak. Secara epistemologi, kata radikal mulai diarahkan kepada interpretasi kepada pikiran atau tindakan untuk sebuah perubahan.

Terpilihnya Fachrul Razi seolah menambah laku jualan kata radikalisme yang hampir surut di pasaran. Di saat umat Islam mulai tercerahkan soal narasi radikalisme yang hanyalah "sinetron Barat", pemerintah justru masih gagal paham dan mempertegas kembali narasi ini dengan memilih menteri agama dari militer. Ada kecurigaan muncul terkait strategi di balik narasi radikalisme. Di antaranya, pertama, strategi adu domba umat Islam. Kedua, sebagai upaya pendangkalan ajaran Islam. Jika ada muslim yang yakin 100% akan kebenaran Islam, akan disebut sebagai kaum radikal.

Ketiga, narasi radikalisme sebagai upaya untuk menghadang kebangkitan Islam, maka muslim yang menyerukan kebangkitan Islam dengan semangat menerapkan Islam secara kaffah akan disebut sebagai kaum radikal. Keempat, narasi radikalisme adalah cara buruk politik Barat agar tetap bisa bercokol dan menjajah negeri-negeri berpenduduk muslim. Bahkan, bukan hanya Barat yang menjajah negeri muslim, kini Timur pun ikut menjajah. Pola stigmatisasi atas nama radikalisme ini seolah menginginkan Islam hancur lebur dan umatnya terpecah-belah.

Ironi

Pemberitaan media yang menyebutkan penunjukan Fachrul Razi sebagai menteri agama untuk menangkal radikalisme sungguh ironi karena terjadi di tengah kegelisahan umat atas skenario busuk di balik kata radikalisme. Masalah umat dan persoalan di Kementerian Agama malah tak disinggung sama sekali, sebut saja soal birokrasi kotor, korupsi, sampai soal jual beli jabatan. Masih hangat dalam ingatan publik peristiwa operasi tangkap tangan yang dialami mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy akibat jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama.

Belum lagi masalah pengelolaan haji. Tahun lalu pemerintah mendapat kuota tambahan 10.000 jamaah, namun tidak maksimal digunakan. Padahal, jamaah yang menunggu giliran dan sudah lunas sangat banyak. Jamak terdengar jika dana haji digunakan bukan untuk peruntukannya, namun akan dibelokkan untuk anggaran infrastruktur.

Selain itu, soal diskriminasi dan persekusi terhadap ulama maupun tokoh agama yang hingga saat ini tak pernah terungkap alasannya. Kalau mau pilih program prioritas, seharusnya Fachrul mencanangkan program 100 hari pertamanya untuk membersihkan birokrasi dan menata penyelenggaraan ibadah haji. Hal itu jelas merupakan fakta yang nyata dan dibutuhkan umat. Bukan malah mengapitalisasi isu radikalisme yang justru berhadap-hadapan dengan umat Islam.

Keinginan agar Menteri Agama dapat menangkal isu radikalisme yang bernuansa teroris menunjukkan Presiden Jokowi ingin mengedepankan upaya pencegahan yang mengedukasi dan tepat sasaran kepada para tokoh agama dibanding sekadar penangkapan. Sayangnya, belum ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyebutkan secara eksplisit definisi radikalisme. Tidak adanya definisi radikalisme secara norma dikhawatirkan dapat secara bebas ditafsirkan subjektif oleh pemerintah. Akhirnya, program-program yang dicanangkan tidak tepat sasaran.

Ketentuan Pasal 43A Undang-Undang Nomor 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU 5/2018) menyatakan, upaya pencegahan tindak pidana terorisme dilakukan oleh pemerintah dilandasi dengan prinsip pelindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian.

Artinya, pemerintah dalam melakukan upaya pencegahan tersebut harus selalu bersikap hati-hati (prudent ) untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak perseorangan atau kelompok orang yang diduga terpapar radikalisme (teroris). Sikap hati-hati ini juga harus memiliki ukuran dan standar perlindungan hak asasi manusia. Hal ini ditujukan agar upaya pencegahan tidak melahirkan korban dan stigma baru terhadap seseorang dan kelompok orang yang terpapar radikalisme.

Terhadap upaya pencegahan ini, UU Nomor 5/2018 telah memberikan pedoman yang cukup jelas dan rinci. Undang-undang ini menyatakan upaya pencegahan dilakukan melalui kesiapsiagaan nasional, kontraradikalisasi dan deradikalisasi. Adapun maksud dan tujuan upaya pencegahan tersebut antara lain, pertama, kesiapsiagaan nasional.

Upaya pencegahan melalui kesiapsiagaan nasional merupakan kondisi siap siaga untuk mengantisipasi terjadinya tindak pidana terorisme melalui proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan. Kegiatan kesiapsiagaan nasional dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan aparatur, perlindungan dan peningkatan sarana prasarana, pengembangan kajian terorisme, serta pemetaan wilayah rawan paham radikal terorisme.

Kedua, kontraradikalisasi. Upaya pencegahan melalui kontraradikalisasi merupakan proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme. Tujuannya untuk menghentikan penyebaran paham radikal terorisme. Kegiatan kontraradikalisasi ini dilakukan secara langsung atau tidak langsung melalui kontranarasi, kontrapropaganda, atau kontraideologi.

Ketiga, deradikalisasi yang merupakan proses terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan, mengurangi, dan membalikkan pemahaman radikal terorisme. Sasaran deradikalisasi dilakukan terhadap tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana, mantan narapidana terorisme atau orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme.

Namun, lagi-lagi isu ini bukan kaveling bagi Kementerian Agama. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang diamanatkan oleh UU Nomor 5/2018 yang harusnya melakukan upaya pencegahan tersebut, dengan atau tanpa melibatkan Kementerian Agama.

Sejatinya Kementerian Agama itu membangun moralitas bangsa, mengembangkan keberagaman ke arah yang positif konstruktif bagi bangsa guna menjaga kerukunan, meningkatkan kerukunan, dan kualitas keagamaan. Melalui departemen inilah umat Islam mendapatkan berbagai kesempatan untuk menyelenggarakan urusan keagamaan.

Adapun tujuan Departemen Agama, sebagaimana rumusan tahun 1950, adalah: menyelenggarakan, memimpin, dan mengawasi pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri, mengadakan pendidikan guru-guru dan hakim agama, mempertinggi kecerdasan umum dalam kehidupan bermasyarakat dan hidup beragama.

Untuk itu, publik menanti gebrakan Menteri Agama untuk tidak terjebak pada narasi radikalisme yang justru mengkhianati umat Islam. Menteri agama sebaiknya melindungi dan mengayomi seluruh umat beragama dan menciptakan harmoni. Jangan sampai ada pihak-pihak yang, karena kebodohannya, tidak memahami arti radikalisme justru ikut menghalangi perjuangan Islam, semisal membubarkan pengajian atau menolak diadakan pengajian di masjid.

Seperti dinyatakan Fachrul Razi setelah dilantik menjadi menteri agama, bahwa ia bukan menteri agama Islam, namun menteri semua agama, harusnya ia mengayomi semua umat. Jika narasi radikalisme ini kemudian menggunakan kacamata (umat) Islam sebagai "sumber radikalisme", maka seperti pernyataan KH Hasan Abdullah Sahal yang dikutip di awal tulisan ini, ia adalah radikalisme itu sendiri. Naudzu billahi min dzalik.

Sumber: Sindonews