Menimbang Kebijakan Stabilitas Pasokan dan Harga Pangan

Presiden Mohamad Sohibul Iman saat peluncuran Sekolah Tani beberapa waktu lalu. (ilustrasi)
Presiden Mohamad Sohibul Iman saat peluncuran Sekolah Tani beberapa waktu lalu. (ilustrasi)

Pada tanggal 29 Agustus 2016 lalu, dilakukan rapat koordinasi (rakor) 3 Menteri; Menteri Pertanian (Mentan), Menteri Perdagangan (Mendag) dan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendesa PDTT) dengan tema “Menjaga Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan”. Dalam rapat disepakati bahwa untuk mencapai kestabilan pasokan dan harga pangan perlu ditempuh dengan memperpendek rantai pasok (supply chain) dan penetapan harga dasar (floor price) atau HPP (harga pembelian pemerintah) serta harga teratas (ceiling price) atau HET (harga eceran tertinggi), yang dievaluasi per 4 bulan.

Kebijakan ini diambil tampaknya mengantisipasi dan merespon harga pangan yang selalu berfluktuasi dengan tingkat disparitas yang tinggi. Usulan kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi petani supaya mendapatkan kepastian keuntungan yang layak serta melindungi konsumen agar mendapatkan harga pangan yang juga terjangkau. Kebijakan mencapai tingkat yang ideal jika kondisinya ideal. Namun demikian, memperpendek rantai pasok perlu dilakukan secara bijak agar efektif.

Struktur pasar yang tidak efisien dianggap sebagai faktot penyebab sehingga perlu dibenahi atau distrukturisasi agar menjadi efisien. Rantai pasok pangan yang melibatkan praktik percaloan perlu diefisienkan. Sebaliknya mata rantai yang memberikan nilai tambah (added value) pada komoditas selaiknya dipertahankan. Jika setiap mata rantai pasok pangan memberikan added value, maka struktur pasar dan pembentukan harga pangan akan efisien. Sebagaimana telah diberlakukan bahwa penetapan HPP dan HET adalah untuk melindungi produsen (petani) dan konsumen (masyarakat).

Namun, kebijakan ini pun harus memberikan insentif yang wajar bagi pelaku rantai pasok komoditas. Nilai selisih antara HPP dan HET adalah insentif yang dinikmati oleh seluruh pelaku di dalam rantai pasok. Kewajaran selisih HPP dan HET menjadi penting agar insentif yang diterima oleh rantai pasok pun menjadi wajar, disamping kewajaran insentif untuk setiap pelaku dalam keseluruhan rantai pasok pun perlu dipertimbangkan. Barangkali pertimbangan fungsi pemberian added value oleh setiap mata rantai pasok dapat dijadikan acuan. Pertimbangan kewajaran insentif rantai pasok ini penting agar stabilisasi pasokan dapat tercapai sehingga HET pun dapat tercapai. Jika tidak, HET sulit tercapai atau jika dipaksakan untuk dicapai maka harus ada korban yakni adanya pelaku yang harus keluar dari rantai pasok (pemangkasan rantai pasok).

Jatuhnya korban akibat penyusutan rantai pasok bukan tidak berisiko, Karena penyusutan dapat melahirkan problem baru yakni pengangguran pada akhirnya tentu menjadi beban sosial ekonomi tersendiri. Hal lain yang perlu mendapat perhatian terkait kebijakan harga komoditas, adalah bagaimana HET itu bisa terjadi (tercapai). Selain struktur pasar dengan rantai pasok yang efisien, tentu faktor utamanya juga adalah supply pangan yang cukup dalam jumlah dan kualitas yang kontinu. Jika supply yang cukup dan kontinyu tidak terjadi dapat diprediksi akan dilakukan impor demi menjaga stabilisasi harga dan pencapaian HET.

Dalam perspektif lain, sebenarnya kebijakan HPP dan HET ini adalah kebijakan legalisasi impor atau tidak impor, kebijakan murni supply-demand sebagaimana diinginkan Pasar Bebas. Impor dapat mengatasi masalah HET, tetapi ia akan menekan HPP terutama jika harga komoditas impor lebih murah.  Kata kunci kesuksesan kebijakan ini (HPP-HET) adalah pada aspek Produktivitas dan Efisiensi, dimana keduanya membentuk daya saing, yang menjadi ideologi ajaran Pasar Bebas. Produktivitas yang tentunya terefleksi pada supply komoditas pangan yang kontinyu (mencakup kuantitas dan kualitas) yang konsekuensinya pada tuntutan melimpahnya produksi. Efisiensi tentu harus terefleksi pada efisiensi produksi dan rantai pasok pangan.

Pertanyaannya, apakah sumberdaya kita cukup memberikan dukungan untuk produksi pangan yang berlimpah? Apakah sudah efisien usaha tani yang dilakukan petani kita dan pedagang kecil kita dalam rantai pasok pangan ? Jika prasyarat-prasyarat tersebut belum tercukupi, pemberlakuan kebijakan HPP-HET bersamaan dengan adanya konsekuensi keluarnya petani dari lahan pertaniannya dan pedagang-pedagang kecil dari lapak-lapak dagangannya. Akan berganti dengan hadirnya sistem pertanian korporasi dan pusat-pusat perdagangan komoditas pangan raksasa.

Tentu ini tantangan bagi Kedaulatan Pangan dan Nawacita yang menginginkan agar wong cilik tetap berdaulat pada penyediaan pangan. Lantas apa yang perlu dilakukan bagi petani dan pedagang kecil? Efisiensi merupakan kata kunci! Pendekatan kelembagaan dan manajemen usaha baik di sektor petani maupun pedagang tampaknya mendesak untuk dilakukan. Agar usahatani efisien dan berdagang bisa efisien maka skala usaha menjadi faktor penentu. Karenanya, penyatuan usahatani masyarakat tani menjadi satu manajemen usaha yang terintegrasi pada skala usaha ekonomis menjadi tuntutan  yang tidak terelakkan. Demikian pula bagi pedagang, penggabungan usaha menjadi satu usaha dagang bersama dengan volume usaha yang besar (komersial) menjadi tuntutan mendesak agar rantai pasok menjadi pendek dan efisien.  

Kehadiran kembali Koperasi Petani atau Badan Usaha Milik Petani atau kelembagaan ekonomi lainnya, demikian pula Koperasi Pedagang atau lembaga sejenis sangat dibutuhkan. Untuk itu Pemerintah perlu mempersiapkan dahulu para petani dan pedagang (kecil) komoditas untuk melakukan transformasi sosial dan ekonomi utk membangun kelembagaan ekonomi mereka agar siap menghadapi kebijakan HPP-HET tersebut. Jika tidak, mereka harus tergusur dari jalur perekonomiannya.

Proses transformasi sosial ekonomi petani dan pedagang tentu membutuhkan waktu, karenanya pemberlakuan kebijakan HPP-HET perlu dilakukan secara selektif dan bertahap. Mungkin dapat dipilih komoditas yang sudah swasembada seperti beras. Disamping suplus, Pemerintah pun memiliki cadangannya untuk melakukan intervensi tatkala terjadi kegagalan pasar (tidak tercapainya HET). Untuk komoditas pangan yang belum berswasembada harus dilihat baik dari aspek keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitifnya. Jika kedua keunggulan itu dimiliki maka perberlakuan HPP-HET akan efektif, sebaliknya komoditas yang tidak memiliki kedua aspek keunggulan tersebut sulit mencapai efektifitas HET. Barangkali untuk komoditas pangan yang belum berswasembada yang perlu dilakukan adalah pemberlakuan kebijakan HPP sebagai insentif usaha, sementara pemberlakuan HET menunggu terbentuknya efisiensi pada sistem usaha hulu-hilir komoditas tersebut, seperti untuk gula dan daging sapi.

Achyar Eldine 

Sekretaris Departemen Ketahanan Pangan DPP PKS