Mengapa Penerimaan Negara Pada APBN 2019 Bisa Melebihi Target?

Kabid Ekuintek-LH DPP PKS, Memed Sosiawan
Kabid Ekuintek-LH DPP PKS, Memed Sosiawan

Per 31 Agustus 2018, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak mencapai Rp 799,47 triliun. Realisasi ini setara dengan 51,14% dari target penerimaan pajak pada APBN 2018. Hingga Oktober 2018 mencapai Rp 1.015 triliun atau 71,32% dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang sebesar Rp 1.424 triliun. Kementerian Keuangan melansir data per akhir November 2018 penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.301,4 triliun atau 80,4% dari target tahun ini.

Melihat belum tercapainya target penerimaan pajak sampai akhir November, maka Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan melihat adanya potensi berkurangnya penerimaan pajak (shortfall) yang lebih besar dari perkiraan. Sebelumnya, ia berharap penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp 1.350,9 triliun atau ada kurang Rp 73,1 triliun dari target APBN 2018 sebesar Rp 1.424 triliun. Adapun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 342,5 triliun atau sudah melampaui target sepanjang tahun ini, yaitu 124,4% dari target Rp 275,4 triliun. Sedangkan hibah Rp 10,6 triliun atau 883,5% dari target Rp 1,2 triliun. Selama empat bulan berturut dari agustus sampai november, penerimaan pajak hanya naik dari 51,14% menjadi 80,4% dari target APBN.

Pada akhir tahun, melalui konferensi video dengan seluruh unit di Kementerian Keuangan yang tersebar di 34 provinsi, Sri Mulyani mengatakan penerimaan pajak dari Papua sampai Sumatera mungkin masih di bawah 100%. Namun, bea cukai dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) rata-rata sudah di atas 100%. Dengan kondisi tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yakin penerimaan negara sampai tutup tahun ini bisa mencapai Rp 1.936 triliun atau lebih tinggi dari target APBN Rp 1.894 triliun. Dampaknya pun langsung terlihat, angka defisit anggaran outlook Desember 2018 menjadi rendah yakni sebesar Rp 314,3 triliun atau 2,12% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Capaian tersebut seiring dengan realisasi belanja yang 99,84% dengan kondisi penerimaan negara yaitu sekitar
100,43% dari target. Angka defisit tersebut juga di bawah target dalam APBN 2018 yang sebesar Rp 325,9 triliun atau 2,19% terhadap PDB. Menurut dia, pemerintah akan menjaga kinerja anggaran agar capaiannya terus membaik.

Mengapa penerimaan negara bisa melebihi target APBN 2018? Pencapaian penerimaan negara tahun ini didominasi oleh lonjakan PNBP, khususnya Pendapatan Sumber Daya Alam (SDA) Minyak Bumi yang meningkat 86,8% dibanding tahun lalu. Hingga November 2018, pendapatan pada pos ini mencapai Rp 119,8 Triliun atau jauh melampaui target yaitu 201,1 % dibandingkan target dalam APBN sebesar Rp 59,6 triliun. Di sisi lain, penerimaan perpajakan didominasi pertumbuhan Pajak Penghasilan (PPh) Migas sebesar 26,7%. Dengan target hanya Rp 38,1 triliun, pendapatan pajak migas tahun ini sudah mencapai Rp 59,8 triliun atau sebesar 156,7% dari target. Dua kondisi di atas didorong oleh kenaikan harga minyak dunia yang berimbas pada harga acuan minyak Indonesia (ICP). Sepanjang tahun ini, ICP bergerak pada rentang harga US$ 59-77 per barel. Akhir November lalu, ICP mencapai US$ 62,98 per barel. Padahal, asumsi harga minyak dalam APBN 2018 hanya sebesar US$ 48 per barel. Adanya selisih antara asumsi APBN dengan pergerakan harga minyak dunia membuat penerimaan negara dari sektor migas otomatis meningkat tajam, baik dari pajak, maupun penerimaan lain non-pajak. Sumber lain yang turut menopang penerimaan negara adalah pajak. Dibanding PNBP yang melampaui target, penerimaan pajak masih sebesar 80,4% dari target APBN 2018. Penerimaan pajak juga didorong oleh kenaikan harga minyak dunia. Alhasil, PPh Migas mencapai 156,7%
dari target APBN.

Di sisi lain, pelemahan rupiah yang sempat menyentuh level Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS) turut berandil mendongkrak penerimaan negara, khususnya di komponen pajak impor. Data penerimaan pajak per Oktober 2018 menunjukkan bahwa pertumbuhan tertinggi yaitu pada PPn Impor Barang dan PPh 22 atas Impor masing-masing sebesar 28,1% dan 27,7%. Kedua komponen tersebut terkait erat dengan perdagangan internasional yang bergantung pada nilai tukar mata uang. Semakin melemah nilai tukar itu, maka semakin besar nilai pajak yang diterima dalam bentuk rupiah. Karena neraca perdagangan mengalami defisit akibat besarnya volume impor, maka berdampak pada tingginya penerimaan negara yang didorong oleh pajak barang impor 1.

Pencapaian pemerintah dalam mengejar target penerimaan negara sebenarnya bukan kali pertama terjadi. Setidaknya sudah dua kali realisasi penerimaan negara melampaui target APBN yakni tahun 2007 dan 2008. Tak jauh berbeda, kondisi saat itu juga menunjukkan adanya selisih yang cukup besar antara asumsi dan realisasi harga minyak dunia. Jika pemerintah masih bergantung pada faktor eksternal seperti harga minyak dunia, maka hal tersebut tidak akan berefek panjang. Meski secara penerimaan negara besar dan ruang defisit menyempit, namun ini akan membebankan subsidi energi. Pengalihan subsidi yang tak lagi sepenuhnya diatur oleh APBN, membuat belanja subsidi energi dalam APBN terlihat rendah.

1 Nazmi Haddyat Tamara adalah Data Analyst dan Statisticia, Katadata (diunduh, 2 januari 2019: 10.00 am)

(Jakarta, 2 Januari 2019, Oleh: Memed Sosiawan, Kabid Ekuintek-LH DPP PKS)