Manfaatkan Kondisi Covid untuk Pindah Ibukota, PKS: Pemerintah Seperti Mencuri di Kegelapan

Wakil Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan DPP PKS Handi Risza saat menjadi narasumber di acara Bincang Oposisi, Senin (21/12/2021). (Donny/PKSFoto)
Wakil Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan DPP PKS Handi Risza saat menjadi narasumber di acara Bincang Oposisi, Senin (21/12/2021). (Donny/PKSFoto)

Jakarta (20/12) - Wakil Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan Handi Risza mengatakan, Pemerintah jangan memanfaatkan kondisi Pandemi Covid 19 untuk memuluskan rencana maupun kebijakan-kebijakan yang kalau seandainya tidak ada covid atau dalam kondisi normal akan sangat sulit dan perdebatannya justru akan panjang.

"Ada istilah dari beberapa ekonom dan juga pengamat itu seperti mencuri di kegelapan. Jadi covid ini jadi suatu kondisi yang membuat politisi atau penguasa memuluskan rencana-rencananya," kata Handi, dalam acara Bincang Oposisi yang digelar DPP PKS dengan tajuk “Dikejar saat Pandemi & Beban Utang Membengkak Ibu Kota Baru Untuk Siapa?” Senin, (20/12/2021).

Dia memaparkan, pada tahun 2020-2021 mungkin ada sekitar 5 sampai 6 undang-undang (UU) yang telah sahkan dan itu notabene UU yang memperlihatkan pada publik bagaimana kekuatan kolaborasi antara pengusaha dan penguasa untuk memuluskan langkahnya. Jadi, tambah Handi, dari semua UU tersebut memperlihatkan bagaimana cengkraman kekuasaan semakin menguat.

"Oligarki kekuasaan itu semakin menguat, saya lihat ada pergeseran dari semangat otonomi daerah kepada semangat desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, itu juga ujung-ujungnya memperkuat cengkraman pemerintah terhadap daerah," ujarnya.

Dia mengemukakan, jika dikaitkan dengan pemindahan ibukota maka tidak ada satu alasan pun yang kuat dan signifikan yang bisa diterima dengan akal sehat. Dengan melihat kondisi yang ada, misalnya kondisi keuangan negara yang sedang morat-marit apalagi 2023 di mulai kembali APBN normal yaitu pemerintah boleh menggunakan defisit 3%. "Inikan akan semakin memperketat fiskal kita yang tidak lagi bisa dijalankan seperti saat ini. itu saja sudah sangat memberatkan bagi pemerintah untuk bisa leluasa mengatur keuangannya," jelasnya.

Begitu juga dari perspektif kesiapan daerah dalam menyambut keberadaan ibukota dinilai sangat tidak siap. Menurut Handi, kalau tujuannya untuk mengurangi ketimpangan, sementara kondisi daerah sendiri juga masih banyak ketimpangan dimana-mana, tidak hanya di kalimantan tapi juga di daerah lain. Apakah pemindahan ibukota akan mengurangi ketimpangan, menurutnya tidak. Karena fokus pemindahan baru sebatas pemindahan administrasinya saja dan tidak langsung juga diikuti pemindahan pusat-pusat bisnisnya, dari situ terlihat sekali bahwasanya pemindahan ibukota tidak akan terlalu banyak memberikan dampak bagi perkembangan daerah.

"Jadi artinya keberadaan pemerintah pusat dalam memberikan alokasi anggaran dalam bentuk transfer ke daerah dan juga dana desa kepada daerah itu tidak membuat daerah bisa jauh lebih berdaya artinya mampu mengelola daerahnya sendiri tapi justru sebaliknya porsi transfer ke daerah itu lebih besar daripada porsi PAD-nya sendiri bahkan mungkin perbandinganya bisa 80:20. Ini juga jadi suatu persoalan sendiri bagaimana sesungguhnya daerah sendiri itu dari sisi kemampuan fiskalnya juga tidak merata, bahkan kalau boleh kita katakan rata-rata semua daerah mengalami permasalahan yang sama, jadi hal-hal seperti ini kan perlu diselesaikan terlebih dahulu ketimbang kita memindahkan ibukota," ungkapnya.

Selain itu, dia mempertanyakan adakah contoh proses pemindahan ibukota yang berjalan dengan baik dan menghasilkan model ibukota yang ideal yang mungkin dilakukan dalam 10-20 tahun terakhir. Dia menyebut tidak banyak contoh yang sukses. Menurutnya rencana pemindahan ibukota sangat perlu dikaji ulang.

"Ini memang bolanya di DPR, kalau DPR tidak mengesahkan tentu pemerintah tidak berani juga untuk melanjutkan, tetapi kalau DPR-nya mengesahkan yasudah inikan tinggal jalan saja, kita tergantung pada 500-an orang di DPR," pungkasnya.