Ledia Hanifa: Masa Kampanye atau Bukan, Ini adalah Amanah

Ledia Hanifa
Ledia Hanifa

Tentang partisipasi politik perempuan, terutama di lingkup parlemen seringkali menyebut keberhasilan negara-negara Skandinavia menempatkan sejumlah anggota parlemen perempuan, yang sejalan dengan penambahannya meningkat juga kesejahteraan penduduknya. Dalam beberapa literatur lain disebutkan bahwa peningkatan ini disebabkan karena sudut pandang masyarakatnya yang lebih maju. Menjadikan parlemen sebagai sarana pembuat kebijakan yang berpihak pada masyarakat dan meningkatkan kesejahteraannya.

Bukan menjadi sarana untuk menambah penghasilan. Dengan demikia bisa dikatakan Parlemen adalah medan pengabdian. Setiap bentuk pengabdian memerlukan pengorbanan. Bagi anggota parlemen pengorbanan itu berupa waktu, pikiran, uang, fisik dan hati. Melelahkan? tak dapat dipungkiri. Tetapi jika dilakukan dengan niat mengabdi sejak awal ditambah dengan berbagai variasi bentuk kegiatan, kelelahan itu bisa diminimalisir. Pelibatan banyak orang juga membantu

mengurangi kejenuhan. Dapat dibayangkan jika kita sepanjang tahun hanya mensosialisasikan hal yang sama, pasti akan mengalami kejenuhan.

Meskipun konstituennya berbeda tapi yang menyampaikannya orang yang sama. Hingga kadang-kadang seperti memutar kaset saja. Mengunjungi masyarakat, berkomunikasi dengan mereka membuat hati kita lebih lunak. Setelah pembahasan-pembahasan yang “panas” di ruang sidang, kita jadi tahu ketepatan pembahasannya dan implementasinya di lapangan. Faktor apa yang sebabkan target tidak tercapai dan siapa yang menyimpang dari kebijakan yang ditetapkan. Atau kadang-kadang kita temui juga inovasi-inovasi yang patut diapresiasi selama tidak melanggar

aturan untuk kebaikan masyarakat.

Sepanjang perjalanan menjadi Anggota Parlemen, perlahan saya menyadari bahwa pengabdian bisa dalam bentuk membersamai masyarakat. Menemani berbincang selepas senam bersama para lansia, membagi informasi kepada teman-teman media, mendengarkan keluhan para pekerja sosial yang menjadi pendamping Program Keluarga Harapan ataupun Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan bahkan curahan hati para ibu Kader Posyandu. Mendengarkan berbagai keluhan, usulan dan mencoba memahami inti permasalahannya sambil memberikan hiburan jika penyelesaiannya memakan waktu yang cukup lama. Karenanya saya selalu berusaha memahami regulasi-regulasi yang menyentuh langsung masyarakat dan detil-detil permasalahan yang seringkali timbul. Termasuk sedikit regulasi di tingkat Kota dan Propinsi yang saling beririsan.

Dengan masukan-masukan yang didapat saya coba merumuskan perbaikan regulasi maupun implementasi regulasinya dan mengusulkan dalam rapat-rapat bersama mitra. Meskipun sekedar usulan, tetapi setidaknya ada saran-saran perbaikan yang dapat dijalankan. Rasanya bahagia jika dapat memperjuangkan aspirasi masyakat. Meskipun kadang-kadang hasilnya tidak memuaskan. Tetapi masyarakat harus diberitahu proses apa yang telah kita jalani. Perasaan ini yang mendorong saya mengalahkan rasa letih dan malas menempuh jarak yang lumayan jauh maupun saat harus berkeliling hingga malam. Padahal bukan pada masa kampanye. Buat saya ini amanah yang harus terus dikerjakan ada atau tanpa kampanye. Tak lupa do’a-do’a dipanjatkan kepada Allah Swt agar senantiasa diberi kesehatan, kecerdasan dalam menyelesaikan masalah dan diberi kekuatan fisik dan mental dalam menjalankan tugas berat ini.

Semula saya menetapkan target untuk mendatangi 1800 RW di Kota Bandung dan Cimahi. Kenyataannya tidak mudah. Pada saat buku ini ditulis baru sekitar 950 RW yang didatangi. Padahal sudah memasuki tahun ke 8 menjadi anggota Dewan. Meskipun begitu ada RW yang telah didatangi lebih dari satu kali. Terutama karena padat penduduknya dan luas wilayahnya. Tidak mudah juga menghafal tokoh-tokoh yang telah dikunjungi. Terkadang terkejut juga ketika mereka masih mengingat pertemuan beberapa tahun lalu. Saya menginginkan dalam setiap interaksi ada informasi yang bias dibagi. Sehingga proses pendidikan politik bisa berlangsung secara formal maupun informal. Seorang tokoh di Cimahi Selatan misalnya sengaja meminta cucunya hadir dalam acara kunjungan saya ke majelis taklim yang beliau kelola. Belakangan saya baru tahu bahwa 4 tahun sebelumnya saya datang ke sekolah sang cucu untuk memberikan motivasi pada siswa-siswi yang akan ujian. Dan dia memperoleh hadiah karena masuk 10 besar penghafal Qur’an dengan jumlah juz terbanyak. Sang cucu telah menceritakan pengalaman itu pada kakeknya. Ia merasa termotivasi dan saat ini menjadi aktivis mahasiswa di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Kota Bandung. Syukurlah karena ternyata motivasi yang diberikan bermanfaat.

Pola lain yang saya gunakan adalah dengan menggunakan wayang golek sebagai sarana berkomunikasi dengan masyarakat. Sosialisasi, serap aspirasi sekaligus memberikan hiburan. Tentu perlu kesiapan tim yang sungguh-sungguh. Tidak mudah menyelipkan materi UndangUndang dalam skenario wayang. Harus dipikirkan dalam-dalam unsur menghiburnya termasuk juga alur ceritanya. Alhamdulillah sejauh ini wayang tersebut terasa cukup efektif membangun komunikasi dengan berbagai elemen.

Saya tidak keberatan disebut orang yang “cerewet” menyampaikan hal yang sama berulang-ulang sampai nampak ada usaha yang nampak mengarah pada perbaikan. Jika diperlukan menghubungi sejumlah pihak terkait untuk menguatkan perubahan yang di harapkan mengarah pada arah yang benar. Bahkan saya juga mendengar beberapa orang berbisik-bisik mengatakan saya terlalu mencampuri urusan teknis. Tidak masalah orang berkata apa. Karena minimal upaya perbaikan yang saya lakukan bisa tersampaikan dan berjalan. Meski bisa jadi bertentangan dengan “kebiasaan” para pelaksananya. Ini bukan untuk kepentingan saya melainkan untuk kebaikan mereka dan masyarakat tentunya.

Menjaga hubungan dengan kolega-kolega di berbagai komisi memungkinkan saya menitipkan masukan-masukan dari masyarakat untuk perbaikan kebijakan dan implementasinya. Bukan apa-apa, karena kami disumpah untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat di daerah pemilihan maka sayapun harus mengupayakan semaksimal yang saya bisa. Beberapa kali terdengar gurauan kolega, “Bu Ledia sudah tidak ada di Komisi ini lagi tapi tetap menghantui.” Kadang-kadang jadi terpikir juga…. Jangan-jangan saya begitu mengerikannya seperti hantu.

Biarlah disebut hantu, atau digunjing cerewet sepanjang saya melakukannya dengan cara yang benar, tidak melakukan pelanggaran dan untuk kepentingan masyarakat. Bukan hanya di daerah pemilihan, tetapi juga di wilayah lain di Indonesia. Seringkali saya berpikir kebiasan melakukan suatu hal secara berulang sering menghilangkan kepekaan kita terhadap kondisi riil di lapangan. Harus terus menerus memperbaharui niat dan motivasi. Penting memang memperhatikan penilaian manusia, yang lebih penting penilaian positif Allah Swt . Itulah pengabdian yang semestinya.