Kritik Keras Presiden PKS Bandingkan Penanganan Corona Vietnam dengan RI

Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman (PKSFoto)
Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman (PKSFoto)

Jakarta -- Presiden PKS Sohibul Iman menyampaikan sejumlah catatan terkait penanganan COVID-19 yang sudah dan sedang dilakukan pemerintah. Sohibul menyoroti kemampuan bangsa ini dalam mengelola wabah.

Sohibul menyebut Indonesia saat ini berada dalam kondisi titik balik yang sangat krusial dalam perjalanan sejarah bangsa. Krusial baik dalam pengelolaan wabah dan perekonomian maupun penataan demokrasi.

"Kemampuan kita sebagai bangsa dalam mengelola pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) akan sangat menentukan rute sejarah bangsa Indonesia di masa mendatang. Apakah kita mampu melaju di rute sejarah bangsa pemenang yang mampu mengubah krisis wabah ini menjadi kekuatan? Atau kita justru terjatuh pada rute sejarah bangsa pecundang yang tak berdaya membendung gelombang krisis? Atau kita hanya puas jadi bangsa medioker, yang hanya bisa jalan di tempat dan tidak mampu membuat perubahan dan kemajuan?" kata Sohibul dalam Orasi Kebangsaan dan Kemanusiaan Milad ke-22 PKS, seperti dikutip, Kamis (23/4/2020).

Sohibul menyebut cara pandang bangsa dalam melihat pandemi COVID-19 akan menentukan sikap dan respons dalam pengelolaannya. Jika pandemi ini dipandang sebagai krisis besar yang membahayakan masa depan bangsa, kata Sohibul, maka semua pihak akan sangat serius mempersiapkan diri dan memberikan respons kebijakan yang cepat, tepat dan akurat.

Sebaliknya, lanjut dia, jika ini dianggap wabah biasa seperti yang sebelumnya pernah terjadi dan terkesan meremehkan, maka respons kebijakan yang diberikan juga akan asal-asalan.

"Wabah pandemi COVID-19 adalah bencana kesehatan global terbesar abad ini. Wabah ini jauh lebih besar baik dari skala, magnitude dan kecepatan menyebarnya dibandingkan wabah yang sudah pernah terjadi dalam 20-30 tahun terakhir ini. Para epidemiologist berpendapat bahwa COVID-19 adalah bencana wabah terparah setelah pandemi Spanish Influenza yang terjadi 100 tahun lalu pada 1918-1920," ucap Sohibul.

Sohibul menyoroti data terkait Corona yang dilaporkan pemerintah. Dia mengutip pandangan dari sejumlah ahli terkait data ini.

"Beberapa ahli menilai bahwa angka yang dilaporkan pemerintah adalah angka yang underreported. Ikatan Dokter Indonesia misalnya menyatakan bahwa kematian di Indonesia seharusnya sudah mencapai angka 1.000 jiwa. Angka ini hampir dua kali lipat dari angka resmi yang dikeluarkan pemerintah. Bahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melaporkan bahwa warga DKI Jakarta yang dimakamkan dengan protokol COVID-19 telah mencapai 1.043 jiwa (per 16/4/2020)," jelas Sohibul.

"Mengapa kasus di Indonesia tampak lebih sedikit? Jawabannya sederhana: karena pemerintah tidak mampu melakukan testing dengan cepat dan masif. Ironis! Indonesia adalah salah satu negara yang paling rendah tingkat testing-nya di dunia. Pemerintah hanya mampu melakukan testing terhadap 50.374 spesimen atau hanya 184 tes per 1 juta populasi (per 21/4)," imbuh dia.

Sohibul menyebut respons pemerintah terkait Corona lamban. Ini, katanya, bisa memicu kekhawatiran di tingkat internasional.

"Lambannya respons kebijakan Pemerintah Indonesia memunculkan kekhawatiran di mata dunia internasional, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Dalam sebuah kesempatan, WHO bahkan secara terbuka memperingatkan kepada Pemerintah Indonesia akan kemungkinan terburuk bahwa Indonesia berpotensi menjadi episentrum baru wabah Pandemi COVID-19 di Asia. Peringatan ini harus jadi introspeksi bagi pemerintah dan kita semua bangsa Indonesia," katanya.

Sohibul menyebut pemerintah bisa belajar dari negara-negara lain yang sudah mengalami wabah COVID-19 ini lebih dulu. "Ada cara Tiongkok dan Eropa yang memilih lockdown policy (lockdown total ataupun lockdown parsial), ada cara massive and rapid testing seperti Korea Selatan dan Singapura," kata dia.

"Atau seperti Vietnam dengan komando militernya melakukan direct-contact tracing dan social distancing secara sangat ketat dan disiplin. Semua pilihan dan kebijakan ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing," sebut Sohibul.

"Pilihan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilakukan Pemerintah dengan cara mendesentralisasikannya berdasarkan kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah semakin membuat kebijakan penanganan COVID-19 menjadi sangat lamban, tidak terkoordinasi dengan baik, tidak integratif dan seperti jalan sendiri-sendiri tanpa adanya satu komando dari pemimpin tertinggi di republik ini," imbuhnya.

Sumber: Detik.com