Konselor Harus Berikan PR Agar Pasien Merasa Mampu

Jakarta (17/9) - Seorang konselor harus mengeksplor ambivalensi apa saja keraguan yang ada di dalam pasiennya dan apa yang membuat pasien tidak mau maju. Setiap tahapan konseling, konselor seharusnya memberikan tugas berupa pekerjaan rumah (PR) kepada pasien. Hal tersebut dikatakan oleh Psikolog Diana Setiawati, Psi., PhD dalam agenda pelatihan konsultan keluarga bagi para pengurus BPKK dan pengurus DPP PKS.

"Berikan PR kepada mereka, misalnya bagaimana menangani pasangan hidup istri atau suami dan menangani anak, berikan tugas yang kira-kira membuat dia berhasil. Jangan langsung memberikan solusi. Misalkan dia suka memukul jangan langsung memberikan saran untuk tidak memukul," kata Diana di Aula MD DPP PKS Jakarta Selatan, Sabtu (17/9).

Hal tersebut jika dilakukan, kata perempuan yang menyelesaikan S2 di International Islamic University of Malaysia (IIUM) dan S3 di University of Melbourne itu, justru akan memberikan frustasi kepada pasien. Sebab merasa tidak mampu melakukan apa-apa dan akhirnya akan rentan kegagalan.

"Seorang konsultan harus memberikan dukungan perasaan mampu (self efficacy), itu lebih baik. Yang namanya masalah orang itu terkait dengan keluarganya. Itu sebenarnya asumsi dasar family therapy. Kita itu saling terikat seperti galaksi dan berada di sebuah sistem. Permasalahan di keluarga kita itu akan memengaruhi diri kita, bahkan extended family bisa memengaruhi kita. Jika ada masalah itu kita saling berkaitan. Misalnya seorang anak merasa ibunya tidak menganggap dia sudah besar, di sini pasti akan ada masalah. Perubahan seorang keluarga akan memengaruhi anggota keluarga yang lain," kata Diana.

Masalah, kata dia, meski gejala psikologis individu yang membuat stres dan depresi, ini terjadi karena diasumsikan terjadi disfungsi dalam keluarga dan hubungan keluarga beserta kohesivitasnya.

"Ketika ada goncangan atau masalah terjadi, keluarga yang baik akan melakukan bagaimana menyelesaikan masalah tersebut dan akan berjalan seperti itu terus. Dan ada juga keluarga yang sebenarnya berkonflik dan bermasalah besar tapi setiap hari berfungsi seperti biasa, di masyarakat kita banyak yang seperti ini. Banyak sekali yang tidak berdaya menyelesaikan masalah-masalah yang seperti itu," ujarnya.

Diana memaparkan bahwa dalam keluarga ada yang namanya batasan. Batasan adalah aturan keluarga yang implisit, tidak terkatakan, tapi biasanya ada yang menentukan hubungan satu anggota keluarga dan anggota yang lain, termasuk siapa bicara dengan siapa, siapa yang menghabiskan waktu bersama, bagaimana keputusan dibuat, oleh siapa, seberapa banyak anggota keluarga yang tahu kehidupan masing-masing anggota.

"Setiap orang itu membawa skema masing-masing, mungkin suami kita datang dari latar belakang yang berbeda dengan cara asuh yang berbeda pula. Akhirnya punya pandangan terhadap istri yang berbeda karena dibentuk dari lingkungan sebelumnya. Setelah batasan dalam keluarga, ada adaptability. Adanya aturan siapa mengerjakan apa dan fungsi keluarga bisa chaos ketika ada ketidakteraturan dan tidak adaptif. Tapi ketika adaptif maka akan mampu adaptasi ketika ada halangan seperti saat istri sedang sakit, suami harus membantu memasak. Kalau tidak adaptif, itu bisa menjadi sumber masalah," ujar perempuan yang menamatkan program sarjana psikologi di Universitas Gajah Mada itu. (msm)

Sumber: Psikolog Diana Setiawati, Psi., PhD dalam agenda pelatihan konsultan keluarga bagi para pengurus BPKK dan pengurus DPP PKS