Kesenjangan Ekonomi Masih Sangat Lebar, Perlu Kebijakan Lebih Kuat

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan Ecky Awal Muharam
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan Ecky Awal Muharam

Jakarta (21/8) - Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan Ecky Awal Muharam menilai kesenjangan ekonomi masih sangat lebar.

“Memasuki 71 tahun kemerdekaan dan 2 tahun Pemerintahan Jokowi-JK, kita masih menghadapi persoalan ekonomi yang sangat berat terkait kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan. Angka yang baru dirilis BPS memang menunjukkan adanya tren penurunan kesenjangan pengeluaran. Tetapi ini masih jauh dari kondisi yang ideal dan memuaskan. Kondisi kesenjangan pendapatan dan penguasaan kekayaan jauh lebih buruk,” ujar Ecky di Jakarta, Minggu (21/8).

Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis laporan terjadinya penurunan Gini Ratio. Dimana, hingga Maret 2016, Gini Ratio sedikit mengalami penurunan menjadi 0,397 dibanding September 2015 yang berada di level 0,402 dan Maret 2015 sebesar 0,408.

“Meski perkembangannya membaik, target Gini Ratio dalam APBNP 2016 sebesar 0,39 dan dalam RAPBN 2017 sebesar 0,38 belum meyakinkan dapat dicapai. Dibutuhkan kebijakan akselerasi untuk dapat mencapainya,” jelas Legislatos PKS dari Daerah Pemilihan Jawa Barat III yang meliputi Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor ini.

Ecky mengingatkan, Laporan Bank Dunia telah memberikan peringatan atas potensi terjadinya ledakan sosial yang diakibatkan dari Ketimpangan yang Semakin Lebar tersebut. Bank Dunia mengungkapkan bahwa di balik pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dalam satu dekade terakhir, telah terjadi dimana 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen aset uang dan properti nasional.

Diperkirakan pula sekitar 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 77 persen dari total kekayaan nasional. Sehingga, 200 juta lebih penduduk Indonesia hanya menikmati distribusi kue pembangunan yang tak lebih dari 25 persen.

“Saat ini faktanya telah terjadi efek konsentrasi ke atas atau trickle-up effect dalam proses pembangunan selama ini. Pendapatan yang tercipta dalam perekonomian sebagian besar tidak dinikmati mayoritas rakyat,” risau Ecky.

Ecky menilai berbagai kebijakan dan program untuk mendorong perbaikan ekonomi yang berorientasi pada rakyat kecil juga belum terlaksana dengan baik. Beberapa indikatornya adalah, pertama, masih tingginya inflasi di pedesaan, terutama pada bahan makanan. Kedua, nilai tukar petani belum membaik secara signifikan. Ketiga, masih minimnya realisasi kredit UMKM, hanya 18 persen dari total kredit perbankan. Dan Keempat, implementasi paket kebijakan pemerintah belum menyentuh golongan menengah ke bawah.

“Rakyat miskin semakin miskin karena 65 persen penghasilan mereka habis untuk membeli kebutuhan pangan sehari-hari. Dan rakyat yang mendekati miskin jatuh dalam kubangan kemiskinan. Kondisi ini menandakan masih beratnya penderitaan yang dihadapi setiap hari oleh jutaan rakyat dan menjadi tanggungjawab besar bagi kita sebagai sebuah bangsa,” tegas Ecky.

Secara khusus Bank Dunia (2015) mencatat laju peningkatan ketimpangan ekonomi di Indonesia termasuk paling tinggi di Asia Timur. Bahkan, dalam hal distribusi aset, lebih memprihatinkan, yaitu Rasio Gini penguasaan lahan mencapai angka 0,72. Angka ini jauh lebih tinggi daripada Rasio Gini pendapatan. Badan Pertanahan Nasional bahkan mencatat, 56 persen aset berupa tanah, properti, dan perkebunan hanya dikuasai oleh sekitar 0,2 persen penduduk.

“Kesenjangan yang semakin besar akan menimbulkan kecemburuan, meningkatkan ketidakpercayaan baik secara vertikal maupun horizontal dan berpotensi menimbulkan ledakan sosial. Rakyat yang terbelah akan mengancam kohesi sosial dan menghancurkan sendi-sendi bangunan kepercayaan sebuah negara-bangsa. Ketimpangan ekonomi yang kronis akan menjadi faktor pendorong revolusi sosial, politik, dan krisis ekonomi. Ini harus menjadi warning serius bagi kita semua,” tutup Ecky.