Indonesia Belum Ada Standardisasi Hukum yang Jelas untuk Pelaku Korupsi

Ketua Bidang Polhukam DPP PKS Almuzzammil Yusuf
Ketua Bidang Polhukam DPP PKS Almuzzammil Yusuf

Jakarta (26/7) - Rendahnya vonis hakim dalam kasus korupsi dari tahun ke tahun cenderung menurun. Jika pada tahun 2013 rata-rata vonis terpidana korupsi masih 2 tahun 11 bulan: pada tahun 2014 tercatat 2 tahun 8 bulan: pada tahun 2015 tercatat 2 tahun 2 bulan dan pada semester 1 tahun 2016 tercatat 2 tahun 1 bulan. Selain itu juga ada disparitas putusan hakim.

Ketua Bidang Polhukam DPP PKS Almuzzammil Yusuf mengatakan bahwa hukum Indonesia belum memiliki standardisasi yang jelas dan seragam. Terutama untuk para pelaku praktik penggelapan uang atau korupsi karena ada subjektivitas hakim.

"Hukum Indonesia tidak punya standar yang jelas dan seragam untuk aneka pelanggaran korupsi. Sehingga vonis hukum kerap terjadi ketimpangan antara vonis dengan nilai korupsi. Maka vonis hukum mnjadi subjektivitas hakim. Kondisi ini diperparah oleh mafia peradilan dan intervensi politik," kata Almuzzammil di MD Building Jakarta Selatan, Selasa (26/7).

Pemerintah, kata dia, harus menggunakan langkah strategis dengan standardisasi vonis hukum untuk koruptor. "Caranya di antara lain pada tolok ukur nilai korupsinya. Korupsi Rp 1 triliun misalnya, jelas berbeda vonis hukumnya dengan yang Rp 1 miliar atau yang Rp 100 juta dan seterusnya," kata Almuzzammil.

Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch sejak tahun 2012, vonis korupsi tidak beranjak dari angka dua tahun. Berbagai faktor menjadi pemicu kecenderungan rendahnya tuntutan jaksa, kebiasaan hakim memutus dua per tiga dari tuntutan dan rendahnya hukuman minimal di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). (msm)