Dialog Kebangsaan Bersama Pendeta di Sulawesi Utara, HNW: Kebhinekaan dan Keberagamaan Penguat Indonesia

Manado - Anggota Komisi VIII sekaligus Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid atau HNW mengatakan sejak awal sejarah berdirinya bangsa dan negara Indonesia, kebhinekaan termasuk dalam keberagamaan memang sudah nyata adanya.

Tetapi kebhinekaan itu, kata HNW oleh para Bapak dan Ibu Bangsa tidak dijadikan sebagai faktor disharmoni, konflik, pemecah belah, hegemoni mayoritas atau tirani minoritas.

Sebaliknya, keragaman atau kebhinekaan termasuk dalam hal beragama, di Indonesia malah menghadirkan ketunggal-ikaan, yaitu kemampuan untuk saling memberi, menerima, dan menghargai untuk satu kemaslahatan bersama bagi bangsa dan negara Indonesia merdeka.

“Sehingga ketika kita membahas ideologi Pancasila dalam konteks sekarang dan ke depan, sangat penting menjadikan praktek berBhinneka Tunggal Ika itu sebagai pilar yang juga dipentingkan. Sehingga semboyan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar jargon dan cita-cita kosong. Tetapi bagian dari jatidiri mensejarah, sesuatu fakta yang nyata adanya dan telah bisa dilaksanakan dengan baik dan benar, dan itu telah menghadirkan satu kesepakatan bersama Indonesia Merdeka dengan dasar Pancasila, UUD 1945, dan bentuk negaranya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan yang lainnya,” kata HNW dalam Dialog Kebangsaan kerjasama MPR dan Forum Musyawarah Pentakosta Solidaritas (F-MPS) Sulawesi Utara, dengan tema ‘Merawat Kebhinnekaan dalam Kesatuan Ideologi Pancasila Menuju Masa Depan Indonesia’ di Manado, Sulawesi Utara, Selasa (21/11/2023).

Turut berbicara dalam Dialog Kebangsaan ini pimpinan PKS Sulawesi Utara Syarifudin Saafa. Dialog Kebangsaan ini juga dihadiri Ketua Dewan Pembina Forum Musyawarah Pentakosta Solidaritas (F-MPS) Josely Losa, Ketua F-MPS Victor Antono, mereka menyambut sangat positif kehadiran dan paparan dari Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, yang berasal dari Partai Islam, PKS.

Turut hadir juga anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara Amir Liputo, Anggota DPRD Kota Manado Nur Amalia, serta ratusan pendeta yang tergabung dalam F-MPS Sulawesi Utara.

HNW mengungkapkan Panitia Sembilan yang menyepakati Piagam Jakarta/ Pembukaan UUD 45 yg didalamnya ada cita-cita mendasar dari Indonesia Merdeka, ada juga dasar negara Pancasila, mencakup dan mewakili seluruh keragaman yang ada di Indonesia, seperti latar belakang suku, agama, partai, ormas, profesi, pendidikan.

Ada empat tokoh dari nasionalis kebangsaan dalam Panitia Sembilan, yaitu Soekarno, Moh Hatta, Moh Yamin, Achmad Subardjo. Ada kelompok kebangsaan dari kalangan Kristiani yaitu A.A. Maramis.

Ada kelompok nasionalis Islam yaitu KH Wahid Hasyim, KH Kahar Muzakir, H. Agus Salim, H. Abikoesno Tjokrosujoso. Ada yang berasal dari Sumatera, Jawa, Sulawesi.

Ada yang sekolahnya di Indonesia, Belanda, Mesir. Ada yang pendidikannya dari pesantren, pendidikan teknik, ekonomi, hukum.

“Keragaman dalam Panitia Sembilan membuktikan kepada kita bahwa sejak dari awal kebhinekaan itu sudah nyata adanya. Tetapi dari awal kebhinekaan menghadirkan tunggal Ika, karena dia memang tidak dijadikan faktor membuat kita terpecah belah, atau tidak bisa menyepakati dasar negara Indonesia. Karena ketika di BPUPK, 67 anggota belum sepakat tentang dasar negara. Kesepakatan baru terjadi di Panitia Sembilan,” jelas Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS ini.

Menurut HNW, keragaman latar belakang anggota Panitia Sembilan membuktikan bahwa Indonesia memang beragam. Tetapi beragam bukan hanya bhinneka saja, tetapi juga tunggal ika.

“Itulah makna yang telah diwariskan Bapak dan Ibu Bangsa. Kalau tidak ada prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang dipraktikkan dan diteladankan oleh para Bapak Bangsa, bisa jadi tidak ada kesepakatan tentang dasar dan ideologi negara, dan bentuk negara Indonesia. Tetapi karena Bapak Bangsa memberikan keteladanan tentang Bhinneka Tunggal Ika, mereka sepakat Republik Indonesia adalah negara kesatuan dan dasar negaranya adalah Pancasila.

Bahkan disana juga ada keterlibatan langsung dari 2 Bapak Bangsa asal Sulawesi Utara yaitu AA Maramis di BPUPK dan Panitia 9, serta Sam Ratulangi di PPKI,” katanya.

HNW menambahkan dalam penyelamatan Indonesia kembali menjadi NKRI pun ada peran tokoh bangsa yang berlatarbelakang berbeda-beda, termasuk organisasi politik keagamaan yang berbeda-beda. Tetapi dengan keragaman itu, para tokoh bangsa bisa menyatukan kembali Indonesia dalam bentuk NKRI melalui Mosi Integral Mohammad Natsir pada 3 April 1950. Sebelumnya Mohammad Natsir (pimpinan Partai Islam Masyumi) menemui Pimpinan Partai Katolik Indonesia I.J. Kasimo dan Pimpinan Partai Kristen Indonesia, A.M. Tambunan.

Partai Katolik Indonesia dan Partai Kristen Indonesia setuju dengan perjuangan M Natsir dari Partai Islam Masyumi itu yang menjadikan Indonesia tidak lagi RIS tapi NKRI.

“Usulan Mosi Integral Moh Natsir dari Partai Islam Masyumi ini disampaikan di Parlemen RIS pada 3 April 1950. Pimpinan partai Katolik, partai Kristen dan partai-partai lainnya setuju. Kemudian disampaikan lah ke Bung Karno dan Bung Hatta, dan disetujui sehingga pada 17 Agustus 1950 Indonesia diproklamasikan kembali menjadi NKRI,” imbuhnya.

“Itulah gambaran tentang NKRI yang sering diteriakkan ‘NKRI Harga Mati’. Di balik itu ada perjuangan tokoh-tokoh agama dari Islam, Kristen, Katolik, PNI, PSI bersama tokoh bangsa yang lainnya, bersepakat, sama seperti ketika sebelumnya mereka menyepakati Pancasila sebagai ideologi negara,” sambungnya.

Jadi, lanjut HNW, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI adalah satu fakta sejak dari dulu. Keragaman itu tidak menjadi faktor yang menyekat dan membatasi, bukan berarti tidak bisa bersama-sama, tidak bisa menyepakati membangun bangsa. Malah sebaliknya kita mendapat warisan sejarah bahwa keragaman justru menjadi faktor yang menguatkan Indonesia.

“Apa yang telah dilakukan Bapak Bangsa dan Ibu Bangsa menghadirkan fakta tentang Bhinneka Tunggal Ika yang membuat kita Indonesia bersatu padu, menghadirkan kesepakatan tentang Indonesia merdeka, NKRI, menghadirkan Pancasila sebagai ideologi negara, dan NKRI,” katanya lagi.

Maka sudah seharusnya, spirit Bhinneka Tunggal Ika seperti itu bisa dijaga dan diwariskan kepada generasi selanjutnya, generasi yang bertemu dengan peringatan 100 tahun Indonesia Merdeka.

HNW berpendapat penting bagi kita untuk mempelajari keteladanan mensejarah yang telah diwariskan oleh para Bapak dan Ibu Bangsa.

“Sehingga kalau kita mempelajari sejarah, maka kita akan tahu persis siapa kita. Kalau kita tahu siapa kita, ke depan kita sangat mudah untuk mengulangi kembali segala capaian positif itu. Sejarah ini perlu kita segarkan kembali. Betapa kesatu paduan umat beragama, bersama tokoh-tokoh kebangsaan lainnya dalam keragaman latar belakang mereka, telah menyelamatkan Indonesia Merdeka, dan NKRI yang mempunyai dasar Pancasila ini. Ini yang perlu terus kita rawat, aktualisasikan dan wariskan, agar benar-benar dapat menjumpai generasi emas pada peringatan 100 tahun Indonesia Merdeka,” pungkasnya.