Catatan Hari Ketiga Relawan PKS

Relawan PKS
Relawan PKS

Aus Hidayat Nur
Ketua Wilda Sulawesi

Hari ketiga di Posko PKS Sulteng, banyak cerita menarik yang mengiris hati dan memberi pencerahan jiwa bagi orang-orang yang ingin belajar. Paginya kami bertemu dengan tamu-tamu yang menceritakan hal-hal unik dari kejadian musibah di Palu. Bersama para relawan PKS yang juga pernah membantu masyarakat NTB, kita mendapat kesimpulan bersama:

Pertama, dampak gempa di Palu tidak banyak orang yang luka-luka sehingga mengharuskan mereka dirawat secara medis -misalnya luka ketiban batu atau robohan atap-, namun yang terjadi lebih dahsyat dari itu. Mereka langsung wafat, terbenam dan lenyap ke dalam bumi seperti yang terjadi di Perumnas, Kelurahan Bala Roa dan Petobo. Ribuan rumah dan penghuninya amblas di telan bumi. Yang selamat dari mereka karena tidak ada di tempat saat kejadian, bukan karena berhasil lari dari wilayah tersebut. Meskipun demikian, trauma sebagai dampak peristiwa dahsyat itu cukup merasuk did setiap warga Palu, terutama bagi anak-anak di pengungsian. Yang unik, salah satu cabang pesantren yang santri-santri dan pengasuhnya sedang meninggalkan tempat tersebut, pesantren itupun terkena dampak kerusakan.

Kedua, nyaris tidak ada hotel atau tempat hiburan yang selamat dari kerusakan parah. Hotel Mercure yang indah dan besar ambruk hingga kehilangan bentuk. Bahkan hotel baru seperti Roa-Roa itu roboh. Yang lainnya ringsek dan tidak ada lagi hotel yang berfungsi di Kota Palu.

Ketiga, wilayah pantai Talise yang menjadi pusat festival tahunan Palu Nomoni (bergaung) habis tersapu Tsunami yang sangat dahsyat. Uniknya, Tsunami di Palu dan Donggala ini tidak memerlukan waktu yang menyurutkan laut seperti di Banda Aceh, tetapi datang tiba-tiba dan beberapa detik setelah gempa. Air di laut naik dan langsung menjadi bah yang menyapu daratan. Yang lebih dahsyat lagi di Sigi, bersama gempa juga ada fonemena daratan yang berjalan dan menghancurkan rumah penduduk di Balaroa. Pemukiman amblas dan bergerak, sehingga rumah-rumah itu berputar seperti diblender. Amblas antara 5 sampai 10 meter dan bergerak ke lembah sejauh 100 meter sampai 500 meter.

Keempat, masyarakat kota Palu yang agamais dan taat kepada para Ulama dan Habaib menyadari betul bahwa di Kota Palu telah terjadi banyak kemaksiatan dengan perencanaan Festival Nomoni ini. Di antaranya, 2 tahun lalu di saat yang sama pernah terjadi angin taufan beliung yang merusak persiapan festival tersebut. Tahun lalu muncul buaya yang berjejer di sungai Palu, namun Pemda dan Penyelenggara Festival ini tidak menghindarkan nasihat para ulama dan tanda-tanda alam yang nyata. Pihak Pesantren Al Khairat secara resmi menyurati Pemda untuk membatalkan acara tersebut, karena selama ini diisi dengan upacara pemanggilan arwah yang diklaim sebagai adat namun hakikatnya adalah kemusyrikan. Direncanakan pembukaan akan diselenggarakan setelah adzan Maghrib, namun datanglah gempa dan Tsunami secara bersamaan. Seluruh panggung festival yang berjejer di bibir pantai dengan stand-stand bazar acara ini ludes diterpa Tsunami yang dahsyat.

Kelima, beberapa hari menjelang kejadian gempa dan Tsunami, kemaksiatan merajalela sehingga ada komunitas anti LGBT melakukan protes. Perjudian dan perzinahan merebak, serta wilayah Balaroa menjadi pusat peredaran narkoba. Masyarakat Palu pada umumnya sangat sadar bahwa peristiwa ini merupakan hukuman Allah, sehingga mereka marah sekali kepada pihak yang ngotot menyelenggarakan Festival Nomoni. Uniknya, dua hari menjelang festival diselenggarakan kegiatan agama berjudul Palu Bersalawat yang menghadirkan Habib Syekh dari Jawa Timur dan Dai Kondang Ustadz Abdus Somad di Masjid Raya secara sangat meriah.

Sungguh, peristiwa Palu, Donggala dan Sigi ini menjadi pelajaran berharga bagi mereka yang ingin memahami sebab-sebab terjadinya musibah. Datanglah ke mari, kita akan disuguhi masyarakat dengan cerita-cerita seperti di atas.

Di hari ketiga ini, kami membuat beberapa posko baru, yaitu di wilayah Balaroa yang terkena dampak terdahsyat, kemudian di wilayah Tawaili Palu Utara yang penduduk Muslim-nya selamat dari sapuan Tsunami ke arah pantai karena mereka menjauhi Festival Nomoni itu. Di sana ada Ibu Nur Rayhana yang mempunyai Majelis Ta'lim di daerah tersebut. InsyaAllah nanti kami teruskan yang disampaikan Ibu Nur Rayhana melalui video.