Belajar dari Aceh: Dialog Komprehensif dan Inklusif dalam Menangani Konflik Papua

H. Rofik Hananto, S.E.

Anggota DPR RI Dapil Jawa Tengah VII / F-PKS

Sejak perebutan Irian Barat ke pangkuan Indonesia, Tanah Papua dan Papua Barat menjadi salah satu wilayah paling rawan konflik di republik ini. Permasalahan Freeport, lambatnya pertumbuhan ekonomi, hingga separatisme menjadi deretan permasalahan yang menjadi pusat perhatian.

Akhir-akhir ini, sejak 19 Agustus 2019, Tanah Papua dan Papua Barat kembali bergejolak. Gelombang aksi unjuk rasa terjadi di beberapa kabupaten dan kota di Bumi Cenderawasih, yang sebagian disertai dengan kerusuhan. Aksi unjuk rasa tersebut dilakukan untuk menyikapi peristiwa penangkapan sejumlah mahasiswa asal Papua oleh aparat keamanan di beberapa tempat di Jawa Timur pada 16 Agustus 2019.

Aksi unjuk rasa besar-besaran terjadi di Jayapura, Manokwari, Mimika, Sorong, Fakfak, Nabire, Deiyai, dan daerah-daerah lain, sejak 19 Agustus hingga 29 Agustus. Di Manokwari dan Mimika, gedung DPRD dibakar dan dilempari batu. Di Sorong, bandara dirusak. Di Fakfak, demo nyaris berbuntut bentrok.

Di Deiyai, paling tidak tujuh warga sipil meninggal dan enam aparat keamanan terluka parah, salah satunya bahkan meninggal. Di Jayapura saat demo kedua pada 29 Agustus 2019, ruangan di gedung Majelis Rakyat Papua dan kantor Bea Cukai Pelabuhan Jayapura dibakar, serta kantor Telkom dirusak. Massa juga merusak dan membakar ruko-ruko. Akibat panasnya situasi, sekolah-sekolah pun diliburkan.

Tak sampai di situ, pada 23 September 2019 tragedi berdarah kembali terjadi. Di Kota Wamena, aksi unjuk rasa para pelajar SMA dilakukan untuk mengecam ucapan rasial seorang guru kepada murid di SMA PGRI Wamena pada 21 September 2019. Isu itu menjalar dengan cepat dan memantik aksi solidaritas dari para pelajar sekolah-sekolah lainnya pada 23 September 2019. Aksi para pelajar tersebut mulanya berlangsung damai. Setelah kepolisian melepaskan gas air mata ke arah pelajar yang saat itu tengah berada di depan Kantor Bupati Jayawijaya, aksi unjuk rasa mulai memanas.

Menurut informasi dari Polri, aksi unjuk rasa tersebut disusupi para perusuh yang digerakkan sebuah kelompok masyarakat Papua yang berkampanye untuk kemerdekaan Negara Papua Barat; Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dengan menggunakan seragam SMA, sehingga pecah menjadi kerusuhan besar.

Perusuh membakar sejumlah bangunan termasuk kantor pemerintahan. Kerusuhan berakhir dengan korban 32 orang warga sipil meninggal dan 65 orang mengalami luka-luka. Menurut Kementerian Sosial, akibat kerusuhan tersebut, lebih dari 11 ribu orang warga sipil eksodus dari Kota Wamena dan Kabupaten Jayawijaya, Papua. Sebanyak 7.467 orang meninggalkan Wamena dengan penerbangan Hercules TNI AU dan 4.179 orang menggunakan penerbangan komersial.

Respons Pemerintah

Pemerintah melalui pendekatan pemecahan konflik di Papua melakukan berbagai langkah pengamanan. Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan pelambatan akses internet dan memblokade sejumlah situs yang dapat memprovokasi situasi.

Polri juga telah menetapkan dan menahan tujuh tersangka dalam Kerusuhan Wamena. Kementerian Sosial pun memberikan santunan kepada korban meninggal sejumlah Rp 15 juta per orang dan bantuan dana melalui program usaha ekonomi produktif kepada para pemilik tempat usaha yang terkena dampak kerusuhan.

Selain itu, Pemerintah merespons kekerasan di Wamena dengan mengirimkan penambahan personel keamanan ke Papua. Dari pelbagai daerah terdekat, terutama dari Sulawesi, Kalimantan, dan Bali, TNI dan Polri menerjunkan pasukan cadangan ke Papua. TNI dan Polri mengirimkan sekitar 2.529 personel tambahan ke wilayah Papua pada 21-30 Agustus 2019.

Langkah Pemerintah tersebut yang akhirnya di-goreng oleh kelompok aliansi-KNPB dengan mengemas citra bahwa Pemerintah Indonesia melalui militer selalu menggunakan pendekatan koersif dalam menangani permasalahan di Papua. Mereka membungkusnya dengan narasi bahwa militerisme di Papua sebagai biang dari segala kekerasan dan penindasan, termasuk melahirkan pelanggaran HAM.

Pendekatan Koersif Bukan Solusi

Sebagai salah satu wilayah paling rawan konflik, menjadikan Pemerintah melalui TNI dan Polri menjaga secara ketat wilayah Papua. Selain itu, wilayah Papua yang berbatasan dengan Papua Nugini, Australia, dan negara-negara lain di kepulauan pasifik ini, menjadikan permasalahan geopolitik tersendiri bagi Pemerintah Indonesia.

Melalui Undang-undang 34/2004, sejak 2003 TNI telah melakukan peningkatan penjagaan dan keamanan di Papua. Undang-undang tersebut memberikan akses bagi TNI untuk dapat melakukan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam mengatasi gerakan separatisme bersenjata, pemberontakan bersenjata, aksi terorisme, membantu kepolisian dalam menjaga keamanan, hingga membantu tugas pemerintah di daerah dalam mengatasi masalah sosial dan politik, terutama pada daerah konflik.

Pendekatan koersif oleh Pemerintah dalam menangani konflik di Papua memang menjadi banyak perhatian dan perdebatan dari berbagai kalangan termasuk dunia internasional. Pemerintah memang tidak salah dalam menggunakan pendekatan tersebut, namun seharusnya bukan satu-satunya jalan, harus dibarengi langkah-langkah lain secara komprehensif. Tujuan pertahanan dan keamanan daerah seharusnya lebih mengutamakan kesejahteraan sosial di daerah tersebut.

Pembangunan kondisi keamanan merupakan upaya kolektif jangka panjang, maka seharusnya menjadi komitmen dan tanggung jawab bersama. Dalam beberapa kasus, pendekatan koersif, termasuk militer dan pengawasan yang ketat terhadap komunitas tertentu, justru malah dapat membuat gerakan kelompok tersebut semakin berkembang, termasuk dapat mengakibatkan banyak korban sipil.

Ketika Pemerintah hanya fokus menyelesaikan konflik melalui pendekatan koersif, memang menyelesaikan permasalahan namun tidak akan bertahan lama. Ketika tersulut, maka akan memanas kembali, karena sebenarnya akar utama masalah belum beres.

Dialog Komprehensif dan Inklusif

Pendekatan koersif khususnya militer justru akan menambah panjang deretan konflik di Papua. pemerintah seharusnya belajar dari pembentukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 1990-1998 dan 2001-2004. Pembentukan DOM di Aceh tidak terbukti dapat menyelesaikan masalah.

Justru, hal tersebut menambah kerumitan penyelesaian konflik lantaran kekerasan dan pelanggaran HAM semakin meluas. Konflik bersenjata di Aceh berhasil diselesaikan secara menyeluruh dan bermartabat melalui proses perundingan yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.

Di Papua paling tidak terdapat empat konstruksi masalah utama, pertama, masalah marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap orang asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Papua sejak 1970. Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Dan keempat, pertanggungjawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua.

Dialog Aceh yang berhasil mengakhiri konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan TNI merupakan bukti bahwa pemerintah Indonesia memiliki kemampuan untuk mengupayakan dialog yang semacamnya di Papua.

Dengan belajar dari Kasus Aceh, dialog juga dapat dilakukan untuk Papua. Pemerintah dapat menggunakan pendekatan personal dengan menunjuk aktor di belakang layar dan melakukan second track diplomacy dengan melibatkan pihak ketiga yang berperan sebagai mediator atau negosiator. Kedua pendekatan ini bertujuan membuka komunikasi dan membangun trust di kalangan pro-kemerdekaan Papua terhadap Pemerintah Indonesia maupun sebaliknya.

Jika dialog yang komprehensif dan inklusif tersebut berhasil diaplikasikan pada Konflik Papua, maka bukan hanya pada saat proses penyelesaian konflik upaya membangun trust dilakukan, namun pada saat dan sesudah kesepakatan perdamaian dicapai pun, trust harus dirawat dan dijaga. Lebih dari itu, tindak lanjut atas kesepakatan perdamaian harus ditegakkan.

Papua harus dibangun dari seluruh arah dan elemen serta oleh seluruh kalangan. Penegakan hukum, pembangunan ekonomi, peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta pembangunan-pembangunan lain di segala sektor harus terus dilakukan, agar Papua dapat merasa bangga bersama NKRI.