Bekerja dalam Sunyi ...

Rasanya saya harus membagikan kalimat yang pernah disampaikan oleh Bapak Mohamad Sohibul Iman, bahwa, “Apapun yang kita lakukan, Insya Allah tidak ada yang sia-sia. Asalkan kita terus tekun menjalaninya, hasil itu pasti ada... yang penting, kita tidak terjebak pada anggapan bahwa sesuatu itu berkinerja hanya jika disertai hiruk pikuk”.

Ya. kita hanya perlu melakukan yang terbaik dan membiarkan Yang Maha Berkuasa menetapkan hasilnya. Memohon agar apa yang kita lakukan pada akhirnya meninggalkan jejak kebaikan, menyisakan kebermanfaatan, membawa secercah perubahan. Kita cukup meyakini bahwa usaha-usaha yang dilakukan secara konsisten pasti menciptakan dampak dan hasil, kecuali jika kita termasuk yang beranggapan bahwa sebuah keberhasilan pastilah hal-hal yang ramai dibicarakan dan diketahui banyak orang.

Saya mencatat banyak tokoh yang mampu melejitkan namanya kala menduduki suatu jabatan publik yang strategis. Tapi saya tidak memasukkan Pak Iman, yang pada periode 2013-2014 lalu merupakan seorang Wakil Ketua DPR sebagai salah satu di antaranya. Ramainya pemberitaan atas pencapaian-pencapaian yang positif, apalagi bagi seorang politisi, tentu merupakan hal yang sangat penting. Tapi siang itu, saat kami duduk lesehan sambil membuat lingkaran besar, Pak Iman menyampaikan kegelisahannya, tentang betapa banyak dari kita yang menganggap bahwa sesuatu berkinerja hanya jika disertai hiruk-pikuk.

“Banyak orang yang terjebak saat ini, menganggap bahwa yang terpenting adalah pencitraan. Padahal pencitraan akan semu tanpa kerja nyata. Kredibilitas personal-moral-profesional tetap merupakan core factor dalam mencapai keberhasilan dalam berusaha. Rasulullah mengajarkan pentingnya kredibilitas melalui bagaimana ia senantiasa berusaha menjaga kepercayaan orang-orang yang bermitra dengannya hingga ia dikenal dengan sebutan Al-Amin. Luasnya jejaring juga merupakan faktor yang mendukung keberhasilan seseorang. Rasulullah mengajarkan untuk membangun jejaring lewat konsep silaturrahiim. Pencitraan adalah proses instan. Membangun kredibilitas merupakan proses panjang, bahkan mungkin seumur hidup dan sepanjang kehidupan professional kita. Membangun network, ada yang butuh waktu panjang.. ada yang bisa sangat cepat. Yang jelas, kuatnya networking akan banyak membantu kita dalam merealisasikan tujuan-tujuan yang hendak kita perjuangkan…”.

Saya paham, Pak Iman tidak berjuang sendiri. Ia berjejaring, memiliki banyak guru, juga teman-teman seperjuangan. Setidaknya saya mengetahui adanya sekumpulan ilmuwan dan teknolog (termasuk Pak Iman didalamnya) -yang kebanyakan menempuh pendidikan hingga jenjang doktoral di luar negeri, dan kemudian kembali ke tanah air dengan kesadaran penuh untuk membangun negeri-.

Pak Iman dan beberapa rekannya inilah yang sejak tahun 1980an telah merumuskan paradigma penataan dan mobilitas kader dakwah. Salah satu tokoh senior yang membersamai perjuangannyaa ialah Bapak Suharna, Menteri Riset dan Teknologi periode 2009-2011. Pak Harna bersama timnya saat di kemenristek merumuskan sebuah visi: ‘Kami mencitakan Indonesia menjadi negara kuat yang membawa misi rahmat keadilan bagi segenap umat manusia, agar bangsanya menjadi kontributor peradaban, serta manusia dan buminya menjelma menjadi taman kehidupan yang tenteram dan damai’.

Visi yang sejujurnya saya rasa sangat berat. Namun, visi tersebut tak sekedar kata-kata yang asal terucap. Tak asal indah dan terkesan ideal. Pak Harna, beserta Pak Iman dan kawan-kawannya telah berupaya membangun tercapainya visi tersebut sejak berpuluh-puluh tahun. Pada tahun 1993, mereka telah merintis pendirian Sekolah Islam Terpadu yang pertama di Indonesia. Tahun 1996 mereka mendirikan Institute for Science and Technology Studies, mendirikan Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis (PPSDMS) pada 2002, juga menginisiasi pembentukan Jejaring Sekolah Islam Terpadu (JSIT) dan Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) pada 2003. Kerja-kerja berat yang dilakukan secara konsisten dan sungguh-sungguh.

Di suatu kesempatan, Pak Harna pernah mengatakah bahwa, ‘Hal-hal yang menjadi infrastruktur Sumber Daya Manusia kita, yang akan membangun sinergi dengan jalur-jalur dakwah… harus bisa menjadi kekuatan pembangunan Indonesia’. Sama seperti Pak Iman, peran dan cita-cita besar Pak Suharna pun tak pernah terekspos ramai kala ia menjabat sebagai Menristek.Tak banyak yang memahami bahwa perjuangan membangun kekuatan Sumber Daya Manusia yang sinergis dengan dakwah Islam telah dimulai jauh sebelum didirikannya partai dakwah yang mampu menempatkan kader-kadernya di posisi penting dalam pemerintahan. Perjuangan membangun kekuatan SDM yang sinergis dengan dakwah Islam bukan dilakukan oleh tokoh yang memaknai dakwah sebatas capaian politik, dan untuk meraihnya harus terjebak pada lobi-lobi dengan pengusaha, tapi oleh para murobbi yang hingga kini pun masih bekerja di jalan sunyi.

"Banyak orang enggan membangun agenda jangka panjang karena tahu bahwa publik tidak sabaran melihat hasil. Tak banyak yang memiliki kesabaran, yang rela bertekun-tekun tanpa sorak sorai dan tepuk tangan, yang cukup menjadikan apa yang sesungguhnya ingin diwujudkan di masa depan dan apa yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak sebagai pengingat atas langkah kecil, langkah sunyi, yang dibangun saat ini…

”Saya pikir saya harus membagikan kalimat-kalimat yang pernah disampaikan oleh Pak Iman ini, setidaknya untuk mengingatkan diri saya sendiri bahwa perjalanan masih sangat jauh dan panjang. Tak perlu riuh, tak perlu banyak dipandang.

Sumber: Ulya Amaliya