Banyaknya Praktik Korupsi Menjadi Kendala dan Tantangan BPK RI

SOLO (16/3) – Praktik korupsi masih menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) gagal menjadi motor penggerak pembangunan karena kebocoran anggaran dan korupsi yang parah. Dari hasil pemeriksaan BPK, sejumlah 117 kepala daerah berurusan dengan KPK.

Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari saat menjadi narasumber dalam "Sosialisasi Peran BPK RI dan DPR RI dalam Pengelolaan Keuangan Negara Menuju Kesejahteraan Rakyat" yang diadakan di Hotel Lor In, Kota Solo, Senin (16/3).

"Perlu diketahui, APBN kerap mengalami kebocoran lantaran dikorup para pejabat. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung hingga mencapai 30 persen. Jika APBN minimal Rp1.400 triliun, sekitar Rp400 miliar dana APBN yang menguap setiap tahun. Jumlah yang besar bukan? Maka peran maksimal BPK sangat diperlukan untuk mengatasi masalah itu. Akan tetapi, sampai saat ini, BPK masih menghadapi kendala dan tantangan," kata Kharis.

Selain masalah praktik korupsi, Kharis menggarisbawahi mengenai kendala dan tantangan BPK tentang batasan akses pemeriksaan. Menurutnya, BPK masih dibatasi untuk mengakses dalam pemeriksaan terkait penerimaan pajak dan proyek-proyek yang dibiayai dari pinjaman luar negeri. Untuk itu, BPK dituntut untuk memberikan perhatian penuh atas keterbatasan akses dengan komunikasi dengan pemerintah, yakni Menteri Keuangan, DPR, dan pemberi pinjaman.

Lebih lanjut, Kharis juga mengidentifikasi faktor internal BPK dalam kinerjanya. Paling tidak, kata Kharis, ada tiga hal yang masih menjadi kendala BPK. Kendala-kendala tersebut antara lain kualitas dalam mengaudit, masalah suap yang terkadang menggoda Auditor BPK, dan jumlah pegawai BPK yang masih terbatas.

"Banyak analisa BPK yang masih keliru dalam melakukan pemeriksaan. Hal itu bisa dilihat dari hasil pemeriksaan yang dilakukan lembaga itu belum maksimal. Bahkan, audit standar kinerja Auditor BPK masih kalah dengan yang dimiliki Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain itu, ada juga permasalahan godaan suap. Sekadar ingatan, pada 22 Juni tahun 2010, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua auditor BPK, yaitu Suharto dan Enang Hernawan," ujarnya.

Sementara itu, tambah Kharis, jumlah pegawai BPK masih terhitung sangat kecil. Sampai saat ini jumlahnya baru sekitar 6.000 orang. Padahal menurut peraturan perundangan, BPK harus memiliki perwakilan di setiap provinsi.

"Karena jumlah pegawai yang masih sedikit ini, target audit BPK menjadi sangat kecil. Tahun 2015 ini, target audit kinerja juga hanya 20 persen saja," tambah politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Kharis menambahkan peran serta DPR dalam menindaklanjuti laporan temuan BPK juga masih belum maksimal. Padahal setiap enam bulan, BPK selalu memberikan laporannya kepada DPR. 

"Sesuai UUD 1945, laporan pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR, DPD, dan DPRD. Untuk itu, perlu adanya format tindak lanjut yang tepat atas laporan BPK.

Diikuti oleh sekitar 200 peserta dari kalangan eksekutif se-Solo raya dan pihak-pihak terkait, acara Sosialisasi BPK tersebut dibuka oleh Bupati Karanganyar, Juliatmoko. Selain itu, sebagai narasumber sosialisasi juga hadir Ketua BPK RI, Hary Azhar dan Anggota DPR RI Muhammad Hatta.

Sumber: http://pks-solo.or.id