APBNP 2016: Perekonomian Nasional antara Optimis dan Realistis

Asumsi pertumbuhan ekonomi yang dibangun oleh pemerintah dalam RAPBN 2016 mencapai 5,3 persen, tidak mengalami peruberubah dibandingkan APBN 2016. Jika diamati lebih dalam, asumsi ini sangat optimis, mengingat masih terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan sejumlah permasalahan internal lainnya.

Kondisi Perekonomian Global

Memasuki semester I-2016, ekonomi dunia belum menunjukkan perkembangan membaik. International Monetary Fund (IMF) pada publikasi April lalu, menjelaskan bahwa baik negara maju maupun pasar berkembang kehilangan momentum pertumbuhan. Hal itu menyebabkan, pemulihan ekonomi global masih membutuhkan waktu lebih lama. Pada dasarnya, persoalan yang terjadi saat ini tidak terlepas dari krisis keuangan global 2008 lalu. Ekonomi Amerika Serikat (AS) yang selama ini menjadi engine of growth tersungkur, dan digantikan oleh Tiongkok.

Sayangnya, ekonomi Tiongkok pun terjerat oleh berbagai persoalan. Tiongkok, yang selama ini menikmati pertumbuhan dua digit, memutuskan untuk rebalancing economy untuk mengurangi pemanasan. Hal itu dilakukan dengan menggeser tumpuan pertumbuhan ekonomi, dari sektor manufaktur (sekunder) menjadi sektor jasa (tersier). Perlambatan ekonomi AS dan Tiongkok saat ini, menyebabkan kepercayaan konsumen global menurun signifikan. Hal ini menyebabkan negative feedback loop. Artinya, terjadi perubahan preferensi konsumen dunia dalam memegang uang, dari konsumsi menjadi berjaga-jaga (untuk mengantisipasi situasi ke depan). Sektor perbankan menjadi gemuk dan tidak efisien.

IMF memerkirakan ekonomi dunia hanya tumbuh 3,2 persen pada 2016. Negara maju tumbuh 1,9 persen; di mana Amerika Serikat tumbuh 2,4 persen dan Uni Eropa (UE) sebesar 1,5 persen. Jepang dan Inggris diperkirakan mencatat pertumbuhan di bawah 2 persen sedangkan Rusia dan Brazil masih terperosok karena masalah politik. India dan China masih tumbuh di atas 6 persen. Pada Tw I-2016, ekonomi AS hanya tumbuh 0,8 persen (yoy); turun 1,4 persen dari triwulan sebelumnya. Dari komponen penyusunnya, konsumsi swasta tumbuh tumbuh 1,9 persen (yoy); juga turun dari posisi 2,4 persen pada triwulan sebelumnya. Konsumsi barang-barang durable turun sekitar 1,2 persen (yoy). Jenis barang ini merupakan barang-barang baku industri lokal. Dalam beberapa tahun terahir, penurunan konsumsi barang ini baru terjadi pada Tw I-2016.

Oleh sebab itu, terdapat empat hal yang perlu jadi perhatian terkait dengan kondisi perekonomina global. Pertama, Risiko capital outflow jika keputusan penaikan suku bunga bank sentral AS dilakukan. Capital outflow akan menekan rupiah dan mendorong lonjakan pada inflasi inti. Kedua, Risiko goncangan pada pasar keuangan juga muncul dari beberapa situasi seperti rencana Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit) serta perubahan kebijakan dari negara mitra dagang utama seperti Tiongkok (terutama terkait dengan nilai tukar). Ketiga, Disvergensi suku bunga, di mana AS ingin meningkat suku bunga sedangkan bank sentral lain cenderung menurunkan. Hal ini menjadi salah satu sumber goncangan bagi sektor keuangan Indonesia. Implikasinya akan tergambar dari tertundanya Bank Indonesia (BI) dalam mengoreksi suku bunga kebijakannya. Artinya, target suku bunga single digit akan sulit tercapai. Keempat, Perlambatan ekonomi AS dan Tiongkok juga akan berdampak pada ekspor Indonesia. Pada April, peranan ekspor ke AS dan Tiongkok terhadap total ekspor Indonesia masing-masing 12,22 persen dan 9,55 persen. Ekspor menjadi penentu ketersediaan devisa untuk pembayaran aktivitas lintas negara

            Pertumbuhan sektoral dalam negeri

Berdasarkan Nota Keuangan RAPBN-P 2016, pertumbuhan tersebut akan ditopang oleh meningkatnya pertumbuhan PMTB dan konsumsi Pemerintah menjadi berturut-turut 6,3 persen dan 6,0 persen. Asumsi tersebut meningkat dibandingkan asumsi pada APBN 2016 yang secara berturut-turut sebesar 6,2 persen dan 5,7 persen. Bila hanya menilik pada sisi penggunaannya, asumsi 5,2 persen yang dibuat oleh Pemerintah terlalu besar. Terlebih, Pemerintah sendiri merevisi target pertumbuhan ekspor dan impor nya menjadi berturut-turut 0,1 dan 0,4 persen, turun jauh dibandingkan asumsi pada APBN 2016 yang berada pada kisaran 2 persen. Pemerintah berpendapat bahwa PMTB akan meningkat karena mulai berjalannya industri akibat adanya kebijakan tax holiday dan kemudahaan perijinan, serta pembangunan infrastruktur. Optimisime Pemerintah pada sektor industri tercermin dari besarnya asumsi pertumbuhan untuk sektor industri pada RAPBN-P 2016.

Pada RAPBN-P 2016, sektor Industri pengolahan ditargetkan tumbuh 5,4 persen, lebih besar dari realisasi 2015 yang hanya mencapai 4,2 persen. Optimisme ini patut dikritisi karena kondisi industri nasional masih jauh dari ideal. Semakin turunnya import bahan modal dan bahan baku industri menjadi sinyal bahwa kondisi perindustrian di Indonesia masih jauh dari baik. Pada tahun 2015, import bahan baku penyokong industri dan bahan modal industri secara berturut-turut mengalami pertumbuhan negatif sebesar 30,4 persen dan 14,7 persen. Lebih lanjut, pada periode Januari-Februari 2016, pertumbuhan (yoy) import bahan baku penyokong industri dan bahan modal tumbuh negatif sebesar 34,2 persen dan 15,4 persen.

Angka-angka tersebut menjadi sinyal bahwa sektor industri masih sangat lesu. Sehingga apabila Pemerintah mengasumsikan sektor industri dan PMTB akan tumbuh tinggi, maka asumsi tersebut patut dikritisi. Kebijakan tax holiday dan perbaikan perijinan memang sudah mulai dilakukan, tapi belum serta merta dapat mendorong bergeraknya sektor industri. Perubahan asumsi lain yang perlu diperhatikan adalah meningkat drastisnya asumsi pertumbuhan sektor asuransi dan perbankan di RAPBN-P 2016, yang awalnya 5,2 persen menjadi 8,7 persen. Kenaikan ini perlu dipertanyakan mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang sedang lesu dan pertumbuhan kredit yang terus melambat. Semenjak pertengahan 2013, pertumbuhan kredit perbankan terus mengalami tren penurunan. Pada Triwulan I-2016, pertumbuhan kredit tercatat sebesar 8,71% (yoy) atau turun jauh dibandingkan Triwulan I-2015 yang mencapai 11,28% (yoy).

Perkembangan Ekonomi Makro

Target inflasi turun menjadi 4 persen dari 4,7 persen pada APBN-2016. Untuk mengamati perkembangan inflasi tidak hanya berfokus pada inflasi umum (headline inflation) tetapi juga pada kelompok komponen inflasi. Memang, inflasi umum cenderung turun, tetapi komponen inflasi harga-harga bergejolak (volatile food) sangat tinggi. Data BPS menunjukkan bahwa, selama 2006-2016, hanya pada 2011 di mana inflasi barang-barang bergolak di bawah inflasi umum, masing-masing 3,37 persen dan 3,79 persen. Untuk itu perlu penajaman asumsi makroekonomi pada inflasi dan merinci anggaran-anggaran yang digunakan untuk mengelola inflasi harga bergejolak di daerah. Misalnya, untuk penguatan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). TPID dapat menjadi pusat pengendali inflasi di daerah jika didukung oleh ketersediaan dana cukup.

Nilai tukar Rupiah dapat ditetapkan lebih kuat. Faktor eksternal dapat menjadi determinan utama dalam menguatnya nilai tukar Rupiah. Masih rendahnya pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat membuat The Fed masih berhati-hati untuk meningkatkan suku bunga acuannya. Risiko kenaikan suku bunga The Fed, juga tidak akan terjadi secara signifikan tahun ini. Meski hasil rapat The Fed pada 26-27 April 2016 menunjukkan masih adanya kemungkinan menaikkan suku bunga pada Juni 2016 juga.

Deflasi yang masih menghantui Uni Eropa juga membuat ECB melanjutkan kebijakan quantitative easing-nya, sehingga hal tersebut akan memperlemah nilai tukar Euro. Kondisi-kondisi tersebut, terutama kebijakan QE, akan membuat aliran dana dari negara maju ke negara-negara berkembang akan kembali mengalir deras di beberapa kuartal ke depan dan kemungkinan sampai tahun depan.

Sepanjang awal 2016, pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS juga relatif membaik. Perbaikan Rupiah sejalan dengan aliran modal asing yang cukup deras. Hingga Maret 2016, aliran modal asing mencapai 3,7 miliar dollar, terutama ke Surat Utang Negara. Pada 19 Mei 2016, kepemilikan asing dalam SBN Rupiah yang Dapat Diperdagangkan dalam bentuk SUN mencapai 43,5 persen. Namun, penguatan tersebut bukan merupakan suatu prestasi yang patut dibanggakan. Perbaikan Rupiah karena aliran modal asing tidak mencerminkan perbaikan fundamental ekonomi nasional tetapi lebih karena faktor eksternal. Untuk itu, upaya memperbaiki nilai Rupiah seharunya bukan dilakukan dengan kebijakan jangka pendek (misalnya dengan obral SUN) tetapi pada penguatan fundamental perekonomian, sehingga kebergantungan perekonomian terhadap faktor asing secara bertahap dapat berkurang. Diantaranya perbaikan fundamental sektor industri yang selama bergantung pada impor bahan baku, serta penurunan suku bunga domestik agar sektor swasta tidak berhutang ke luar negeri.

Terkait asumsi suku bunga SPN 3 bulan 2017 sebesar 5,5persen, seharusnya dapat ditekan lebih rendah, yield SPN tersebut masih dapat ditekan lebih rendah, mengingat target inflasi yang dibawah 5 persen [target inflasi 2016, 4,7 persen]. Hal ini juga sejalan dengan masih positifnya persepsi investor terhadap potensi ekonomi Indonesia. Suku bunga yang lebih rendah diharapkan akan menurunkan ekspektasi imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) menjadi semakin rendah, sehingga akan menurunkan beban pembayaran bunga. Disisi lain, mulai meningkatnya optimisme dan persepsi positif investor harus menjadi cambuk bagi Pemerintah untuk memperkokoh kredibilitas kebijakan ekonomi dan memperbaiki iklim bisnis.

Bank Indonesia harus didorong untuk kembali melonggarkan kebijakan moneter, terutama untuk menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) agar mendorong turunnya cost of fund bagi dunia usaha dan juga ekspektasi terhadap suku bunga SPN 3 bulan. BI memiliki ruang yang besar untuk menurunkan suku bunga mengingat terjadi deflasi 0,45 persen sepanjang April 2016. Selain itu, risiko eksternal dari kenaikan suku bunga The Fed, juga tidak akan terjadi secara signifikan tahun ini. BI perlu menerapkan bauran kebijakan (policy mix) yang lebih berpihak pada ekspansi sektor tradable. Dengan kebijakan tersebut diharapkan tidak ada trade off antara upaya stabilisasi nilai tukar dan perbaikan neraca transaksi berjalan, dengan kepentingan bangsa yang lebih besar untuk penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan. Mahalnya cost of fund bagi dunia usaha, khususnya untuk yang bergerak disektor tradable juga menjadi penyebab sulitnya mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing yang lebih baik. Dengan kondisi suku bunga yang jauh lebih mahal di kawasan, penurunan suku bunga diharapkan dapat meningkatkan daya saing di tingkat kawasan.

Pengurangan Angka Kemiskinan dan Pengangguran

Dalam RAPBNP 2016 , target angka kemiskinan perlu dibuat lebih progresif dibawah 9 persen. Selain itu dalam APBNP 2016 telah disepakati target penurunan kemiskinan untuk 2016 adalah 9-10 persen dan dalam target APBNP 2015 10,3 persen. Upaya lebih kuat untuk menurunkan kemiskinan sangat penting mengingat angka kemiskinan dan mendekati miskin (near poor) yang tinggi sangat mengkhawatirkan dan mencederai amanat konstitusi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan hingga September 2015 mencapai 28,51 juta atau 11,13% dari total penduduk Indonesia. Sedangkan rakyat yang hampir miskin (near poor) dengan pengeluaran satu setengah kali garis kemiskinan mencapai lebih dari 100 juta atau 40 persen dari jumlah total penduduk. Angka ini menunjukkan masih besarnya rakyat yang sangat rentan (vulnerable) terperosok menjadi miskin. Yang juga sangat mengkhawatirkan jika dibanding periode September 2014 angka kemiskinan terus meningkat. Dimana pada periode September 2014 jumlah penduduk miskin masih sekitar 27,73 juta jiwa‎ atau 10,96%. Dibanding September 2015, jumlah penduduk miskin meningkat sekitar 780 ribu jiwa. Bank Pembangunan Asia menggunakan pendapatan per kapita dengan batas garis kemiskinan 1,25 dollar AS dan 2 dollar AS. Dengan dua tolok ukur ini, penduduk miskin di Indonesia berjumlah 43,1 juta jiwa dan 117,4 juta jiwa. Adapun dengan pendekatan Indeks Kemiskinan Multidimensi, jumlah penduduk miskin 73,6 juta jiwa.

Kedalaman kemiskinan di Indonesia pada September 2015 mengalami peningkatan sebesar 0,09 dibandingkan September 2014. Hal ini perlu diwaspadai oleh Pemerintah, mengingat hal ini mengindasikan bahwa kondisi masyarakat miskin di Indonesia semakin memburuk karena rata-rata pendapatan mereka semakin jauh dari garis kemiskinan. Jika melihat data tingkat provinsi, maka pada periode tersebut (September 2014-September 2015), maka terdapat 20 provinsi mengalami peningkatan indeks kedalaman kemiskinan. Dimana, 14 diantaranya memiliki indeks kedalaman kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan angka nasional.

Pemerintah perlu meningkatan kebijakan-kebijakan pengentasan kemiskinan terutama untuk menyelesaikan masalah di hulu yang menjadi penyebab kemiskinan. Hal ini sangat penting mengingat, kemiskinan di Indonesia berakar dari kemiskinan perdesaan dan pertanian. Fakta yang memprihatinkan bahwa puluhan tahun pembangunan ekonomi ternyata kemiskinan tidak beranjak dari desa. Bahkan sesungguhnya kemiskinan di kota terutama juga akibat urbanisasi penduduk miskin dari desa.

Selain itu, perlu peningkatan kebijakan-kebijakan pengentasan kemiskinan terutama agar menyelesaikan pada akar kemiskinan perdesaan dan pertanian. Kebijakan penting yang perlu dituntaskan oleh pemerintah adalah menjalankan UU Desa secara konsekuen dan merealisasikan kebijakan Reforma Agraria yang sudah dijanjikan untuk meningkatkan penguasaan tanah petani atau kelompok petani di perdesaan. Fraksi PKS mendesak agar pemerintah segera menyelesaikan Peraturan terkait Reforma Agraria dan segera menjalankan kebijakan tersebut. Selain itu Fraksi PKS juga terus mendesak agar pembangunan infrastruktur pertanian dan perdesaan dapat ditingkatkan secara masif, selain meningkatkan Anggaran Dana Desa. Fraksi PKS juga mendesak agar basis data kemiskinan yang masih kurang memadai, harus benar-benar dibenahi agar lebih valid dan mampu menjamin ketepatan program-program pengentasan kemiskinan.

Persoalan tenaga kerja Indonesia saat ini berhubungan dengan kualitas di tengah-tengah tantangan yang semakin besat. Misalnya implementasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) hingga Revolusi Industri ke Empat. Beberapa hal yang harus menjadi perhatian pemerintah saat ini, baik dari segi regulasi maupun anggaran adalah: (i) menambah pusat-pusat pelatihan angkatan kerja, sehingga mereka memiliki keterampilan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menambah jumlah Balai Latihan Kerja (BLK). Jumlah BLK saat ini kurang lebih 300 dan sebagian besar mati suri, dan (ii) meningkatkan sertifikasi tenaga kerja. Kadin mencatat bahwa dari 12 sektor yang terbuka untuk MEA hanya sektor pariwisata yang relatif siap. Pemerintah harus membukat pusat-pusat sertifikasi bagi tenaga kerja untuk menyiapkan mereka ke pasar tenaga kerja.

Peningatan Kesejahteraan

Dalam rangka untuk mencapai target pengurangan kesenjangan tersebut perlu mendapat perhatian serius. Target penurunan Gini Ratio menjadi 0,39 dalam APBN 2016 perlu mendapat perhatian serius. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat gini ratio hingga September 2015 berada di level 0,40, turun 0,01 poin dibandingkan posisi di Maret 2015 pada kisaran 0,41. Laporan Bank Dunia, juga telah memberikan warning potensi ledakan sosial akibat "Ketimpangan yang Semakin Lebar". Bank Dunia mengungkapkan bahwa di balik pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dalam satu dekade terakhir, dalam kurun waktu sama 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen aset uang dan properti nasional. Diperkirakan sekitar 10 persen orang terkaya menguasai 77 persen dari total kekayaan nasional. Sehingga, 200 juta lebih penduduk Indonesia hanya menikmati distribusi kue pembangunan tak lebih dari 25 persen. Terjadi efek konsentrasi ke atas (trickle-up effect) dalam proses pembangunan dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini menunjukkan kesenjangan pendapatan rakyat masih sangat-sangat lebar, berbahaya secara sosial, dan membutuhkan kebijakan yang lebih kuat. Pemerintah juga perlu kirannya, memasukkan target Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang belum terlihat dalam RAPBN-P 2016. Padahal sebelumnya target tersebut juga telah ditetapkan dalam pembahasan APBNP 2015, dimana peningkatan IPM pada skala 69,40 dan APBN 2016 dengan target IPM pada skala 70,1.

Ecky Awal Mucharam

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan DPP PKS